Minggu, 29 Maret 2009

Mahasiswa PKLH lagi PKL





Read More..

Jumat, 27 Maret 2009

Staf Dewan Guru SMP Negeri 2 Telaga

Read More..

Senin, 23 Maret 2009

Update Soal Terakhir

Update Soal Terakhir




Read More..

SOAL TIK Semester Genap

Ujian Nasional Semakin dekat.
berbagai kia-kiat yang harus siswa lakukan agar tidak gagal dalam ujian nasional nantinya.
disini anda dapat mendowload soal ujian Semester Genap TIK untuk SMP
Silakan DOWNLOAD




Read More..

Minggu, 15 Maret 2009

Download Buku dengan Google Book Downloader


Download Buku dengan Google Book Downloader
Bagi rekan - rekan yang kesulitan cari buku, disini saya tuliskan gimana caranya mendownload buku dari google book dengan menggunakan menggunakan software Google Book Downloader, diamana anda dapat mendownload dan menyimpan buku tersebut sebagai file PDF.

Untuk mendownload dari Google Book Search dengan menggunakan Google Book Downloader, caranya sebagai berikut:

1. Jalankan aplikasi Google Book Downloader.
2. Tulis kode buku yang akan didownload pada kotak isian Book code.
3. Tekan tombol Check.
4. Tekan tombol Download all.
5. Tekan tombol Save entire book as…

Lama proses yang dibutuhkan untuk mengecek dan mendownload sangat variatif, tergantung kecepatan koneksi internet dan banyak sedikitnya halaman buku yang bisa didownload.

Read More..

Selasa, 10 Maret 2009

Menggunakan Tutorial interaktif

Menggunakan Tutorial interaktif

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan dunia Informasi dan teknologi sangat begitu pesat diberbagai bidang. Tidak terkecuali dalam bidang pendidikan. Lembaga pendidikan sebagai pencetak sumber daya manusia tidak bisa hanya berpangku tangan atau tergilas begitu saja tanpa melakukan perubahan – perubahan untuk menghadapi perkembangan dunia teknologi informasi saat ini.

Sejak diberlakukan kurikulum 2004 maupun Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) untuk sekolah menengah pertama (SMP) sudah terdapat perubahan pada struktur kurikulum yaitu dengan memasukkan mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang pemberlakuannya secara nasional. Dengan adanya mata pelajaran tersebut yang juga mempunyai kaitan dengan mata pelajaran yang lain, mau tidak mau sekolah harus berbenah untuk membelajarakannya kepada siswa.

Dari hasil fakta dilapangan, bahwa sarana untuk pembalajaran mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi diberbagai sekolah khususnya di SMPN 2 Telaga sangatlah minim. Jumlah komputer di SMPN 2 Telaga hanya terdapat 8 unit yang akan dipakai siswa sebanyak 30 orang jadi setiap pembelajaran praktek satu unit komputer digunakan oleh 4 orang siswa sementara dalam pembelajaran praktek Teknologi Informasi dan Komunikasi yang ideal adalah satu komputer digunakan untuk satu orang siswa. Kenyataan ini membuat sebagian siswa hanya menonton saja tanpa ada inisiatif yang berarti yang akhirnya ditemukan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi belum mencapai kiriteria ketuntasan (KKBM) yang ditetapkan. Rendahnya hasil belajar siswa tersebut juga bisa disebabkan karena kemampuan guru. Sekarang ini guru pengajar TIK adalah guru mata pelajaran dari berbagai disiplin ilmu yang di TIK - kan. Namun walaupun begitu, bukan berarti guru lepas tanggung jawab atau guru hanya sekedar melaksanakan tugas yang diembannya. Guru dituntut harus selalu proaktif dan inovatif didalam mengembangkan metode atau cara untuk dapat membelajarkan TIK secara maksimal kepada peserta didik

Berdasarkan latar belakang tersebut maka Guru merasa tertantang untuk membuat suatu inovasi pembelajaran dengan menggunakan media dalam pembelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi yaitu dengan menggunakan Program Tutorial Interaktif dengan Macromedia Captivate yaitu suatu program yang memungkinkan kita untuk membuat suatu bentuk pembelajaran interaktif yang melibatkan siswa secara langsung untuk belajar internet tanpa jaringan atau merupakan simulasi pembelajaran dimana siswa dapat belajar dan mengulang materi pembelajaran yang telah diberikan. Dengan demikian diharapkan cara tersebut dapat meningkatkan hasil belajar siswa.


BAB II

INOVASI PEMBELAJARAN TIK

MELALUI PENGGUNAAN PROGRAM TUTORIAL INTERAKTIF

DENGAN MACROMEDIA CAPTIVATE

A. PENGERTIAN

1. Pembelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi

Teknologi Informasi dan Komunikasi merupakan keterampilan menggunakan komputer meliputi perangkat keras dan perangkat lunak. Namun demikian Teknologi Informasi dan Komunikasi tidak sekedar terampil, tetapi lebih memerlukan kemampuan intelektual.

Materi Teknologi Informasi dan Komunikasi berupa tema-tema esensial, merupakan perpaduan dari cabang-cabang Ilmu Komputer, Matematik, Teknik Elektro, Teknik Elektronika, Telekomunikasi, Sibernetika dan Informatika itu sendiri. Tema-tema esensial tersebut berkaitan dengan kebutuhan pokok akan informasi sebagai ciri abad 21 seperti pengolah kata, spreadsheet, presentasi, basis data, Internet dan e-mail. Tema-tema esensial tersebut terkait dengan aspek kehidupan sehari-hari.

Menurut Muhammad Sutiyadi [1]“Interconnected Network - atau yang lebih populer dengan sebutan Internet - adalah sebuah sistem komunikasi global yang menghubungkan komputer-komputer dan jaringan-jaringan komputer di seluruh dunia” .. Secara umum internet menyediakan fasilitas untuk e-mail, chating, telepon, mailing list, SMS, e-business, e-learning.

2. Macromedia Captivate

Macromedia Captivate merupakan aplikasi yang diperuntukkan bagi penggunaan profesional yang dapat dengan mudah membuat demonstrasi intektif serta simulasi dalam berbagai format termasuk Flash (SWF) dan EXE. Kita dapat pula menggunakan aplikasi ini untuk membuat demonstrasi produk online, simulasi software untuk e-learning, atau tutorial online untuk dukungan pemakai, dan Captivate adalah solusi ideal untuk ini. Di dalam Captivate terdapat semua yang dibutuhkan untuk merekam apa yang terjadi dalam desktop dan secara instant membuat sebuah simulasi. Captivate memungkinkan kita untuk menambah, memodifikasi keterangan teks, memberi audio (voice-overs, background music, dan sound effects), video, animasi Flash, animasi text, gambar, hyperlink, kedalam movie yang dibuat. Ukuran file yang kecil serta resolusi yang tinggi membuat simulasi dan demonstrasi yang dibuat dengan Captivate menyenangkan bagi siswa dan mudah untuk dipublikasikan dengan mencopy ke dalam harddisk atau dibakar ke CD untuk dipakai dalam pembelajaran

3. Program Tutorial Interaktif

Program Tutorial Interaktif adalah sebuah file yang memuat materi dari suatu mata pelajaran dalam bentuk audio visual yang dapat dioperasikan pada media informasi dan komunikasi yaitu komputer dan merupakan sebuah model e-learning yang disajikan secara autodidak dalam bentuk modul simulasi & audio visual interaktif dengan dipandu oleh virtual tutor secara professional. Pola e-learning ini apabila dilakukan secara konsisten dan kontinyuitas, akan membantu proses belajar dengan tingkat pemahaman yang lebih baik

B. KONSEP PROGRAM TUTORIAL INTERAKTIF

Konsep Program Tutorial Interaktif ini hadir sebagai alternatif media belajar untuk anak-anak, remaja, dewasa bahkan orang tua dimana mereka semua dapat belajar dengan fleksibel tanpa terikat dengan jadwal dan menyenangkan, KARENA :

1. Interactive Multimedia dengan gambar, suara demo panduan dan iringan musik. Dapat diulangi sesuka hati, hingga anda mengerti.

2. Bahasa Pengantar, Bahasa Indonesia.

3. Salah satu cara inovatif yang dapat digunakan untuk melakukan dan mendistribusikan ilmu Teknologi Informasi dan Komunikasi ataupun Ilmu Pengetahuan di segala bidang.

4. Sangat Membantu untuk meningkatkan kemampuan SDM.

5. Juga sebagai salah satu Solusi ‘Pendidikan murah’.

Sementara itu sebagai prosedur operasi pada dasarnya Program Tutorial Interaktif bisa menjadi sarana pendidikan alternatif dengan beragam pilihan pelajaran interaktif. Sedangkan mengenai cara atau prosedur pengoperasian Program Tutorial Interaktif amat sederhana yaitu :

1. Siswa tinggal memakai headphone atau active speaker + MIC.

2. Kemudian mengklik mouse.

3. Siswa tinggal memilih program yang dinginkan mulai dari materi pertama pada Standar kompetensi ataupun Kompetensi dasar sampai materi akhir ataupun materi lain yang telah disiapkan Guru.


BAB III

ANALISIS

A. PENCAPAIAN TUJUAN

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa ide dan kreativitas pembelajaran Tekonologi Informasi Dan Komunikasi melalui penggunaan program tutorial interaktif dengan Macromedia Captivate sebagai upaya mempermudah siswa memahami pelajaran TIK ini adalah :

1. Meningkatkan mutu pendidikan TIK di lingkungan SMP/MTs Kabupaten Gorontalo

2. Mempercepat proses pembelajaran TIK

3. Memudahkan siswa menyerap materi yang disampaikan guru.

4. Memperbanyak waktu dan kesempatan siswa untuk menerima pembelajaran TIK

5. Meringankan tugas guru dalam mengajar.

Sejauh ini pencapaian tujuan terhadap pelaksanaan ide dan kreativitas tersebut cukup menggembirakan,hal ini terbukti dari indikator yang telah dicapai, yakni :

1. Meningkatnya rata – rata nilai hasil belajar siswa baik dari aspek kognitif maupun psikomotornya.

2. Siswa semakin termotivasi untuk belajar TIK contohnya pada kelas IX, siswa sudah berani dan percaya diri untuk mengunjungi Warnet dalam menyelesaikan tugas yang diberikan guru.

3. Semakin meningkatnya kemampuan siswa dalam mengoperasikan komputer.

B. EFEKTIFITAS PROGRAM TUTORIAL INTERAKTIF

Pada pelaksanaan kegiatan belajar mengajar ( KBM ) TIK khususnya di SMP Negeri 2 Telaga, penggunaan program tutorial interaktif dengan Macromedia Captivate sangatlah membantu, baik terhadap siswa maupun guru TIK itu sendiri. Disamping memberikan kejelasan aktivitas dan langkah – langkah yang akan siswa lakukan dalam mengikuti pembelajaran TIK serta menghindari aktivitas siswa diluar pembelajaran yang akan menyebabkan pemborosan waktu dan ketidak efektifan pembelajaran, siswa pun dapat memperoleh penjelasan materi secara berulang – ulang sampai siswa itu merasa paham terhadap materi yang disampaikan tanpa harus guru TIK nya yang memberikan penjelasan, cukup dengan meng klik atau mengaktifkan program tutorial interaktif dengan Macromedia Captivate pada PC ( Personal Computer ) yang sedang mereka gunakan

C. DAMPAK PENGGUNAAN PROGRAM TUTORIAL INTERAKTIF DENGAN MACROMEDIA CAPTIVATE TERHADAP SISWA DAN GURU

Segala sesuatu tindakan ataupun perbuatan tentulah akan memiliki dampak, baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Begitu juga terhadap pelaksanaan pembelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) melalui penggunaan program tutorial interaktif dengan Macromedia Captivate. Sampai sejauh ini sepengamatan penulis, dampak – dampak yang timbul terhadap siswa dalam proses pembelajaran TIK dengan menggunakan program tutorial interaktif dengan Macromedia Captivate adalah sebagai berikut :

1. Proses pembelajaran jadi lebih terarah
2. Siswa memiliki waktu dan kesempatan lebih banyak dalam memperoleh pembelajaran TIK
3. Siswa lebih mudah memahami pelajaran TIK
4. Tugas guru dalam mengjar lebih ringan
5. Guru memiliki waktu luang lebih banyak yang dapat dipergunakan untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi – inovasi selanjutnya.
6. Siswa lebih suka menggunakan program ini dari pada menggunakan buku
7. Minat baca siswa sedikit menurun, khususnya terhadap buku pelajaran TIK.

Read More..

Rabu, 04 Maret 2009

MENGHILANGKAN JEJAK KONFLIK ETNIK MELALUI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

MENGHILANGKAN JEJAK KONFLIK ETNIK MELALUI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL*

PENDAHULUAN

Masalah integrasi dalam negara kesatuan yang multietnik dan struktur masyarakatnya majemuk, seperti “serigala berbulu domba” atau penuh ambivalensi (ambigu). Perfomance-nya menampakan sebuah keseimbangan (equillibrium) di antara struktur sosial, politik, dan kebudayaannya, tetapi isinya penuh dengan intrik, ketidakpuasan, paradoks, etnosentrisme, stereotipisme, dan konflik sosial yang tidak kunjung selesai (Husamah, 2008).

Inilah fakta Indonesia. Sebagaimana menurut Usman (2004), negara keempat terbesar di dunia dan masyarakatnya paling plural ini selalu dihantui ancaman disintegrasi bangsa dan gerakan separatisme. Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh heterogenitas etnik dan bersifat unik. Secara horisontal ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat, dan primordialisme. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan vertikal antara lapisan-lapisan atas dan lapisan bawah. Tidak mengherankan jika sejak kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, NKRI selalu dirongrong isu disintegrasi, konflik antar suku dan gerakan separatisme, .
Konflik antar-suku kemudian berakhir dengan kekerasan horizontal sungguh memang sangat mengkhawatirkan dan memilukan kita sebagai anak bangsa yang dibesarkan dalam keragaman dan berbeda-beda. Kerusuhan Poso muncul sejak 1998. Perang berisu SARA itu telah menewaskan ratusan orang, menghilangkan lapangan pekerjaan dan menyebabkan ribuan rumah hangus. Pada Mei 1998 lalu, etnies Tionghoa menjadi target pembantaian di Jakarta dan Kalimantan Tengah. Dari data yang dihimpun dari berbagai sumber, sampai pada tahun 2005 kasus SARA di Jawa Timur yang berdampak kerusakan dan teror penutupan gereja hingga mencapai jumlah fantastis, lebih dari 80 gereja. Ini belum termasuk data terbaru sampai tahun 2007 (Riansyah, 2008).
Sejarah juga telah mencatat berbagai bentuk aksi diskriminasi, kekerasan, konflik, dan berbagai bentuk kesenjangan lain yang paling mencolok terkait dengan etnis Tionghoa. Mereka diperlakukan sebagai orang luar masyarakat di mana mereka hidup. Mereka juga diperlakukan secara tidak adil dan tidak sederajat. Mereka merasakan adanya tindakan diskriminasi secara individual dan kolektif, mereka dibatasi, memiliki gengsi yang rendah, seringkali menjadi sasaran olok-olok, kebencian dan tindakan kekerasan (Suparlan, 2006). Konflik dengan kekerasan lebih lanjut dapat berbentuk amuk massa dengan ciri-ciri kekerasan fisik, pelecehan seksual, pemerkosaan, penjarahan dan pembakaran (Iskandar, 2006). Hal ini seperti yang terjadi pada kerusuhan Mei 1998.
Indonesia selalu berhadapan dengan konflik sehingga mempunyai peluang menjadi negara yang pecah akibat ketidakstabilan kondisi sosiokultural dan politik. Samuel Hutingthon dalam Lestariana (2006) pernah berkomentar bahwa pada akhir abad ke-20, bahwa Indonesia adalah negara yang mempunyai potensi paling besar untuk hancur, setelah Yugoslavia dan Uni Soviet. Demikian juga Cliffrod Gertz, antropolog yang Indonesianis, dalam Lloyd (2000) ia pernah mengatakan bahwa jika bangsa Indonesia tidak pandai-pandai memanajemen keanekaragaman etnik, budaya, dan solidaritas etnik, maka Indonesia akan pecah menjadi negara-negara kecil.
Karya tulis akan mencoba mencari solusi atas konflik yang selama ini terjadi di Indonesia. Menurut analisis penulis, pendidikan multikultural merupakan salah satu alternatif jitu untuk meminimalisasi bahkan menghilangkan jejak konflik dari Indonesia. Ini merupakan sebuah keniscayaan dan perlu diarusutamakan. Oleh karena itu dalam karya tulis tinjauan pustaka hanya dibatasi pada telaan tentang konflik, masyarakat multikultural, pendidikan multikultural dan penerapannya.

METODE PENULISAN

Tipe Pendekatan
Karya tulis ini merupakan tulisan yang menggunakan perspektif pendidikan berupa pendidikan multikultural. Analisis yang dilakukan difokuskan pada pada urgensi penerapan pendidikan multikultural sekaligus upaya yang harsu dilakukan untuk menerapkannya.
Pengumpulan Data
Data yang di gunakan adalah data sekunder, yaitu data yang dipelajari dari berbagai dokumentasi atau literatur seperti buku, koran, majalah, jurnal, makalah, maupun artikel di internet yang berkaitan dengan kajian masalah.
Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan karya tulis ini adalah pendahuluan (latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat). Selanjutnya menuju tinjauan pustaka, metode penulisan, dan pembahasan. Tahap akhir penulisan adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran/rekomendasi yang relevan berdasar hasil analisis pada pembahasan yang telah dilakukan. Penulisan karya tulis ini diawali dengan mengumpulkan data-data dan informasi yang terkait dengan kajian masalah. Data-data dan informasi yang terkumpul kemudiann di pilah-pilah dan dievaluasi (meta-analisis) guna memberikan keakuratan informasi dan ketepatan analisis yang akan ditulis atau diginkan. Tahapan selanjutnya adalah menganalisis data-data dan informasi yang terkumpul. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, yaitu serangkaian prosedur yang digunkan sebagi upaya pemecahan masalah yang diselidiki dengan mengambarkan atau melukiskan keadaan subyek/obyek yang dikaji (seseorang, lembaga, masyarakat, sistem dan lain-lain).

PEMBAHASAN

Pendidikan Multikultural untuk Meminimalisasi Konflik
Upaya membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin dapat terwujud apabila; (1) konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya; (2) kesamaan pemahaman diantara para ahli mengenai multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang mendukungnya dan (3) upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini (Suparlan, 2002).
Pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak. Dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang sarat kemajemukan, maka pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan.
Jika kita menengok sejarah Indonesia, maka realitas konflik sosial yang terjadi sering kali mengambil bentuk kekerasan sehingga mengancam persatuan dan eksistensi bangsa. Pengalaman peperangan antara kerajaan-kerajaan sebelum kemerdekaan telah membentuk fanatisme kesukuan yang kuat. Sedangkan terjadinya konflik sosial setelah kemerdekaan, sering kali bertendensi politik, dan ujungnya adalah keinginan suatu komunitas untuk melepaskan diri dari kesatuan wilayah negara kesatuan, bahkan buntutnya masih terasa hingga sekarang, baik yang terjadi di Aceh dan Papua. Tanpa pendidikan multikultural, maka konflik sosial yang destruktif akan terus menjadi suatu ancaman yang serius bagi keutuhan dan persatuan bangsa.
Pendidikan kewiraan, kepramukaan dan kewarganegaraan sesungguhnya dilakukan sebagai bagian dari proses usaha membangun cara hidup multikultural untuk memperkuat wawasan kebangsaan. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan kewiraan sudah mulai kehilangan dimensi multikulturalnya, sebagai akibat krisis militerisme dalam kehidupan politik bangsa. Akibatnya tidak ada lagi minat dan semangat di kalangan mahasiswa untuk mempelajarinya, bahkan telah kehilangan aktualitasnya. Sementara pendidikan kepramukaan dan kewarganegaraan menjadi antirealitas karena tidak mengalami aktualisasi hidup di tengah realitas perubahan sosial yang kompleks dalam tekanan budaya global yang cenderung materialistik dan hedonistik.
Era reformasi telah membuka mata kita terhadap semua borok-borok kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah berlangsung selama ini. Realitas korupsi telah menghancurkan sendi-sendi persatuan bangsa, karena korupsi ternyata melestarikan ketidakadilan sosial, ekonomi, dan hukum yang semakin tajam dan ikut memperkeras konflik sosial. Sementara pendidikan kewiraan, kepramukaan, bahkan keagamaan telah kehilangan aktualitas multikulturalnya, dan pada gilirannya akan memperkeras konflik sosial yang ada. Karena itu, pendidikan multikultural harus direvitalisasi dan direaktualisasi secara kreatif sehingga tidak kehilangan jiwa dan semangatnya (Asy’arie, 2004).
Berakhirnya sentralisme kekuasan yang pada masa orde baru memaksakan "monokulturalisme" yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala "provinsialisme" yang hampir tumpang tindih dengan "etnisitas". Kecenderungan ini, jika tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi politik (Azra, 2002).
Budianta (2003) berpendapat bahwa melalui pendidikan multikultural siswa dapat diajak untuk melihat contoh-contoh kongkrit bahwa kebudayaan tidak bersifat statis melainkan merupakan suatu proses yang terus terjadi. Kebudayaan merupakan suatu wilayah yang batasnya terbuka terhadap berbagai pengaruh, interaksi, percampuran dan peleburan.
Secara operasional, pendidikan multikultural pada dasarnya adalah program pendidikan yang menyediakan sumber belajar yang jamak bagi anak didik (multiple learning environments) dan yang sesuai dengan kebutuhan akademik maupun sosial anak didik (Amini, 2005). Anderson dan Cusher (dalam Hasan: 2001) mengatakan bahwa multikultural adalah pendidikan keragaman kebudayaan. Definisi ini mengandung unsur yang lebih luas, meskipun demikian posisi kebudayaan masih sama yakni mencakup keragaman kebudayaan menjadi sesuatu yang dipelajari sebagai objek studi. Dengan kata lain keragaman kebudayaan menjadi materi pelajaran yang harus diperhatikan, khususnya bagi rencana pengembangan kurikulum. Azra (2002) menjelaskan pendidikan multikultural sebagai pengganti dari pendidikan interkultural, diharapkan dapat menumbuhkan sikap peduli dan mau mengerti atau adanya politik pengakuan terhadap kebudayaan kelompok manusia seperti; toleransi, perbedaan etno-kultural dan agama, diskriminasi, HAM, demokrasi dan pluralitas, kemanusiaan universal serta subyek-seubyek lain yang relevan.
Upaya Penerapan Pendidikan Multikultural
Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional. Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat. Menyusun pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan anatar kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas "merayakan keragaman" belaka (DEPAG RI dan IRD, 2003)
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a. Pendidikan multicultural dianggap mampu meminimalisasi konflik karena merupakan proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Siswa dan selanjutnya masyarakat memiliki sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain.
2. Untuk menerapkan pendidikan multikultural di sekolah terlebih dahulu perlu diidentifikasi dan dijawab beberapa permasalahan sebagai berikut: (1) Apakah pendidikan multikultural penting diberikan di sekolah; (2) Apakah pendidikan multikultural dapat membantu siswa berinteraksi dalam lingkungan yang multikultur; (3) Materi apa saja yang bisa dimasukkan dalam silabus pendidikan multikultural; (4) Apakah materi pendidikan multikultural bisa diintegrasikan pada semua mata pelajaran atau bisa menjadi bidang studi tersendiri; (5) Bagaimana kesiapan sekolah melaksanakan pendidikan multikultural; (6) Metode pembelajaran yang bagaimana, cocok digunakan dalam Proses Belajar Mengajar pendidikan multikultural; (7) Apakah pendidikan multikultural bisa diberikan pada semua jenjang pendidikan; (8) Apakah penyusunan silabus pendidikan multikultural disesuaikan berdasarkan budaya lokal setempat, (9) Apakah konsep dasar pendidikan multikultural dapat memberi signifikansi positif untuk diberikan pada usia sekolah pendidikan dasar dan menengah, (10) Bagaimanakah bentuk, institusi sosial masyarakat dan institusi negara mengambil inisiatif atau peran dalam pengembangan gagasan pendidikan multikultural.
Saran/Rekomendasi
Akhirnya upaya-upaya tersebut diatas tidak akan mungkin dapat dilaksanakan bila tidak didukung dengan tekad dan itikad yang baik. Saran penulis adalah pemerintah baik pusat maupun daerah sudah saatnya memahami dan mengimplementasikan wacana tersebut. Bersamaan dengan upaya-upaya ini, sebaiknya Departemen Pendidikan Nasional mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA. Multikulturalisme sebaiknya termasuk dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstrakurikuler atau menjadi bagian dari kurikulum sekolah yang terintegrasi dalam mata pelajaran yang telah ada. Hal ini tentu tidak aan menambah beban siswa daripada harus menjadi mata pelajaran sen diri. Tentunya wacana ini akan valid jika didukung penelitian yang tepat dan sesuai

DAFTAR PUSTAKA

Amini, Ernie Isis Aisyah. 2005. Analisis Kebutuhan Pendidikan Multikultural Berbasis Kompetensi Pada Siswa SLTP. Singaraja: Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Negeri Singaraja
Asy'arie, Musa. 2004. Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa. Harian Kompas Edisi 03 September 2004.
Atmadja, Nengah Bawa. 2003. Multikulturalisme dalam Persepektif Filsafat Hindu. Makalah di Sajikan dalam Seminar Damai Dalam Perbedaan. Singaraja: 5 Maret 2003
Azra, Azyumardi. 2002. Pendidikan Multikultural: Membangun Kembali Indonesia Bhineka Tunggal Ika. Makalah disampaikan dalam symposium International Antropologi Indonesia ke-3. Denpasar: Kajian Budaya UNUD.
Budianta, Melani. 2003. Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural: Sebuah Gambaran Umum, Dalam artikel Menuju Indonesia yang Multikultural. http://chaoticsunshine.multiply.com/journal.
Budiman, Manneke. Multikulturalisme: Antara Kekhawatiran dan Harapan. Jakarta. Jurnal Srinthil Edisi 12 Juni 2000.
DEPAG RI dan IRD. 2003. Kurikulum: Kurikulum Berbasis Multikulturalisme. Majalah Inovasi Edisi IV, Tahun 2003.
Glazer, N. 1997. We Are Multiculturalists Now. Cambridge: Harvard University Press.
Hasan, Hamid. 2001. Pendekatan Multikultural Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional. Dalam seminar Pengembangan Kurikulum Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung.
Husamah. 2008. Mengusung Multikulturalisme. Media Indonesia Edisi 12 Juli 2008.
Kusni, J.J. 2001. Negara Etnik. Cetakan I. Fuspad. Jakarta.
Joesoef, Daoed. 2001. Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran” Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi. Jakarta: Penerbit Kompas, 2001.
Lestariana, Grace. 2006. Soft Power dan Manajemen Konflik Masalah Tionghoa Indonesia. Malang: Lembaga Kebudayaan UMM.
Lloyd, Grayson. 2000. Indonesia's Future Prospects: Separatism, Decentralisation and the Survival of the Unitary State. Australia: Parliament of Australia-Parliamentary Library.
Pramono, Suwito Eko. 1999. Urgensi Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan IPS. Seminar dan Sarasehan Forum Komunikasi IX, Pimpinan FPIPS-IKIP dan JPIPS- FKIP/STKIP Se Indonesia. STKIP Singaraja: Bali.
Purwasito, Andrik. 2003. Komunikasi Multikultural. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Riansyah, Levi. 2008. Manifestasi Pendidikan Pluralisme dan Multikultural. Malang: Averroes Community.
Spradley, James, P. 1997. Metode Etnografi. Diterjemahkan dari The Etnographic Interview. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Suparlan, Parsudi. 2001. Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia. Makalah dalam Simposium minternational Antropologi Indonesia ke-2. Padang. Universitas Andalas 18-21 Juli 2001.
Tilaar, H. A. R. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo.
*Karya tulis ini merupakan Juara I Lomba Karya Tulis Mahasiswa Lomba Pemikiran Kritis Mahasiswa Dalam Rangka Student Day 2008/2009 Universitas Muhammadiyah Malang 2008.

Read More..

PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME DI INDONESIA

PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME DI INDONESIA

Oleh :

Dwi Maryanto
07501245001
Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan pendidikan multikulutral di Indonesia, perkembangan pendidikan multikultural di Indonesia dan mengembangkan multikultural melalui pendidikangambaran pendidikan multikultural di Indonesia.
Multikulturalisme adalah kebudayaan, yakni kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Pemahaman mengenai multikulturalisme dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara terutama bagi negara-negara yang mempunyai aneka ragam budaya masyarakat seperti Indonesia, maka pendidikan multikulturalisme ini perlu dikembangkan. Melalui pendidikan multikulturalisme ini diharapkan akan dicapai suatu kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam undang-undang dasar. Pemahaman multikulturalisme dalam pembangunan bangsa, maka diperlukan upaya-upaya konkrit untuk mewujudkannya. Kita perlu menyebarluaskan pemahaman dan mendidik masyarakat akan pentingnya multikulturalisme bagi kehidupan manusia oleh karena itu memerlukan pendidikan multikulturalisme yang dapat mengantarkan bangsa Indonesia mencapai keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan hasil deskripsi pendidikan multikultural dapat ditarik kesimpulan pluralisme dan multikulturalisme menggambarkan beragam kebudayaan umat manusia di dunia khususnya di indonesia. Dengan mengenal keragaman kebudayaan manusia dan menghargaianya maka kita mencapai pemahaman dan pemaknaan terhadap perbedaan dan akan tumbuh semangat dan sikap untuk menghargai keragaman dan perbedaan kebudayaan yang ada salah satunya melalui pendidikan multikulturalisme.

I. PENDAHULUAN
Indonesia, melebihi kebanyakan negara-negara lain, merupakan negara yang tidak saja multi-suku, multi-etnik, multi-agama tetapi juga multi-budaya. Kemajemukan tersebut pada satu sisi merupakan kekuatan sosial dan keragaman yang indah apabila satu sama lain bersinergi dan saling bekerja sama untuk membangun bangsa. Namun, pada sisi lain, kemajemukan tersebut apabila tidak dikelola dan dibina dengan tepat dan baik akan menjadi pemicu dan penyulut konflik dan kekerasan yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa. Peristiwa Ambon dan Poso, misalnya, merupakan contoh kekerasan dan konflik horizontal yang telah menguras energi dan merugikan tidak saja jiwa dan materi tetapi juga mengorbankan keharmonisan antar sesama masyarakat Indonesia. Maka, disinilah implementasi multikulturalisme menemukan tempatnya yang berarti dan tentu saja pendidikan menjadi satu faktor penting. Multikulturalisme menjadi isu penting dalam upaya pembangunan kebudayaan di Indonesia. Hal ini menurut didasarkan beberapa alasan. Pertama, bahwa secara alami atau kodrati, manusia diciptakan Tuhan dalam keanekaragaman kebudayaan, dan oleh karena itu pembangunan manusia harus memperhatikan keanekaragaman budaya tersebut. Kedua, bahwa ditengarai terjadinya konflik sosial yang bernuansa SARA (suku, agama, dan ras) yang melanda negeri ini pada dasawarsa terakhir berkaitan erat dengan masalah kebudayaan. Dari banyak studi menyebutkan salah satu penyebab utama dari konflik ini adalah akibat lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kearifan budaya. Ketiga, bahwa pemahaman terhadap multikulturalisme merupakan kebutuhan bagi manusia untuk menghadapi tantangan global di masa mendatang. Pendidikan multikultural mempunyai dua tanggung jawab besar, yaitu menyiapkan bangsa Indonesia untuk siap menghadapi arus budaya luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya. Bila kedua tanggung jawab besar itu dapat dicapai, maka kemungkinan disintegrasi bangsa dan munculnya konflik dapat dihindarkan. (Suara Pembaruan: 09/09/04).
Beberapa uraian di atas setidaknya menggambarkan betapa pentingnya pendidikan multikulturalisme harus dilakukan, baik melalui pendidikan formal maupun non formal. Dalam kerangka ini penulis ingin melihat bagaimana pendidikan multikulturalisme dilakukan di Indonesia. Dengan kata lain, bagaimana di Indonesia pendidikan multikulturalisme dikenalkandan dikembangkan dimelalui berbagai kegiatan dan layanannya.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Multikulturalisme
Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.
Selanjutnya Suparlan mengutip Fay (1996), Jary dan Jary (1991), Watson (2000) dan Reed (1997) menyebutkan bahwa multikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik. Dengan demikian, multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayan.
Mengingat pentingnya pemahaman mengenai multikulturalisme dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara terutama bagi negara-negara yang mempunyai aneka ragam budaya masyarakat seperti Indonesia, maka pendidikan multikulturalisme ini perlu dikembangkan. Melalui pendidikan multikulturalisme ini diharapkan akan dicapai suatu kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam undang-undang dasar.

B. Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikulturalisme memerlukan pengenalan terhadap beragam kebudayaan yang dimiliki oleh umat manusia dari beragam suku bangsa, ras atau etnis, dan agama. Keragaman koleksi yang mencakup berbagai subjek dan aspek-aspeknya merefleksikan keterbukaan terhadap isu-isu pluralisme dan multikulturalisme. Semakin akomodatif kebijakan suatu terhadap berbagai sumber-sumber informasi dari beragam kebudayaan maka akan menunjukkan kepeduliannya terhadap pendidikan multikulturalisme. Demikian pula sebaliknya, jika hanya terdiri dari satu jenis subjek atau mempunyai subjek yang terbatas, berarti kurang menyebarluaskan pendidikan multikulturalisme. Dalam kerangka pendidikan multikulturalisme ini pada dasarnya multikultural merupakan bagian dari materi pendidikan yang disediakan bagi para para peserta didik. Melalui pemanfaatan informasi-informasi yang ada seperti pada perpustakaan, multikultural tersebut diharapkan dapat memahami beragam kebudayaan yang dimiliki oleh umat manusia yang pada gilirannya akan tumbuh saling pengertian dan menghargai perbedaan kebudayaan di antara sesama khususnya di Indonesia.
Dalam hal ini satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa pelaksana pendidikan tidak boleh dijadikan sarana propaganda bagi satu kebudayaan atau faham tertentu sebab hal ini akan bertentangan dengan konsep multikulturalisme. Dalam kerangka ini pelaksana pendidikan harus menjadi lembaga yang inklusif, dan bukan eklusif terhadap beragam kebudayaan umat manusia.

C. Mengembangkan Multikulturalisme malalui Pendidikan
Multikulturalisme sebagaimana dijelaskan di atas mempunyai peran yang besar dalam pembangunan bangsa. Indoneia sebagai suatu negara yang berdiri di atas keanekaragaman kebudayaan meniscayakan pentingnya multikulturalisme dalam pembangunan bangsa. Dengan multikulturalisme ini maka prinsip “Bhineka tunggal ika” seperti yang tercantum dalam dasar negara akan menjadi terwujud. Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia akan menjadi inspirasi dan potensi bagi pembangunan bangsa sehingga cita-cita untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dapat tercapai.
Mengingat pentingnya pemahaman multikulturalisme dalam pembangunan bangsa, maka diperlukan upaya-upaya konkrit untuk mewujudkannya. Kita perlu menyebarluaskan pemahaman dan mendidik masyarakat akan pentingnya multikulturalisme bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain kita memerlukan pendidikan multikulturalisme yang dapat mengantarkan bangsa Indonesia mencapai keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Mantan Menteri Pendidikan Nasional, Malik Fajar (2004) pernah mengatakan pentingnya pendidikan multikulturalisme di Indonesia. Menurutnya, pendidikan multikulturalisme perlu ditumbuhkembangkan, karena potensi yang dimiliki Indonesia secara kultural, tradisi, dan lingkungan geografi serta demografis sangat luar biasa. Menurut Rahman (2002). Pentingnya pendidikan multikulturalisme di sekolah-sekolah. Pendidikan multikultur dapat diterapkan seiring dengan kurikulum sekarang yaitu kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), seperti pengenalan akan budaya-budaya setiap daerah yang ada di Indonesia di sekolah-sekolah. Singkatnya, revitalisasi dan optimalisasi KTSP dengan menerapkan pendidikan multikulturalisme di dalamnya.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan melihat uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pluralisme dan multikulturalisme menggambarkan beragam kebudayaan umat manusia di dunia khususnya di indonesia. Dengan mengenal keragaman kebudayaan manusia dan menghargaianya maka kita mencapai pemahaman dan pemaknaan terhadap perbedaan dan akan tumbuh semangat dan sikap untuk menghargai keragaman dan perbedaan kebudayaan yang ada. Semua itu akan tubuh dan dikembangkan melalui pendidikan multikulturalisme sebagaimana dijelaskan di atas, tentu bukan hanya merupakan tanggung jawab sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan formal saja, akan tetapi tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, keluarga, dan institusi-institusi lainnya.

Read More..

PERPUSTAKAAN DAN PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME

PERPUSTAKAAN DAN PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME*)
Oleh
Agus Rifai**)

I. PENDAHULUAN

Pada dasawarsa terakhir, wacana multikulturalisme menjadi isu penting dalam upaya pembangunan kebudayaan di Indonesia. Hal ini menurut hemat penulis didasarkan beberapa alasan. Pertama, bahwa secara alami atau kodrati, manusia diciptakan Tuhan dalam keanekaragaman kebudayaan, dan oleh karena itu pembangunan manusia harus memperhatikan keanekaragaman budaya tersebut. Dalam konteks ke-Indonesia-an maka menjadi keniscayaan bahwa pembangunan manusia Indonesia harus didasarkan atas multikulturalisme mengingat kenyataan bahwa negeri ini berdiri di atas keanekaragaman budaya.



Kedua, bahwa ditengarai terjadinya konflik sosial yang bernuansa SARA (suku, agama, dan ras) yang melanda negeri ini pada dasawarsa terakhir berkaitan erat dengan masalah kebudayaan. Dari banyak studi menyebutkan salah satu penyebab utama dari konflik ini adalah akibat lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kearifan budaya. Menurut AlQadrie (2005), Profesor Sosiologi pada Universitas Tanjungpura Pontianak, berbagai konflik sosial yang telah menimbulkan keterpurukan di negeri ini disebabkan oleh kurangnya kemauan untuk menerima dan menghargai perbedaan, ide dan pendapat orang lain, karya dan jerih payah orang lain, melindungi yang lemah dan tak berdaya, menyayangi sesama, kurangnya kesetiakawanan sosial, dan tumbuhnya sikap egois serta kurang perasaan atau kepekaan sosial. Hal sama juga dikemukakan oleh Rahman (2005) bahwa konflik-konflik kedaerahan sering terjadi seiring dengan ketiadaan pemahaman akan keberagaman atau multikultur. Oleh karena untuk mencegah atau meminimalkan konflik tersebut perlu dikembangkan pendidikan multikulturalisme.



*) Artikel Peserta Lomba Penulisan Karya Ilmiah bagi Pustakawan Tahun 2006
**) Pustakawan pada Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta










Ketiga, bahwa pemahaman terhadap multikulturalisme merupakan kebutuhan bagi manusia untuk menghadapi tantangan global di masa mendatang. Pendidikan multikultural mempunyai dua tanggung jawab besar, yaitu menyiapkan bangsa Indonesia untuk siap menghadapi arus budaya luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya. Bila kedua tanggung jawab besar itu dapat dicapai, maka kemungkinan disintegrasi bangsa dan munculnya konflik dapat dihindarkan. (Suara Pembaruan: 09/09/04). Konflik antarbudaya yang disebut oleh Samuel P. Huntington (1993) sebagai benturan antar peradaban akan mendominasi politik global. Dalam bukunya yang terkenal, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, Hantington menyebutkan bahwa terjadinya berbagai konflik sosial dan etnis di berbagai belahan dunia antara lain disebabkan oleh perbedaan kebudayaan yang semakin nyata. Untuk menghindari benturan tersebut, atau setidaknya meminimalkan dampak dari benturan tersebut menurut salah seorang penulis lepas online, pemahaman tentang keanekaragaman kebudayaan, (www.penulislepas.com.)

Beberapa uraian di atas setidaknya menggambarkan betapa pentingnya pendidikan multikulturalisme harus dilakukan, baik melalui pendidikan formal maupun non formal. Dalam kerangka ini penulis ingin melihat bagaimana pendidikan multikulturalisme dilakukan oleh perpustakaan. Dengan kata lain, bagaimana perpustakaan berperan dalam mengembangkan pendidikan multikulturalisme melalui berbagai kegiatan dan layanannya.


II. PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME

A. Pengertian Multikulturalisme
Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.

Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.

Selanjutnya Suparlan mengutip Fay (1996), Jary dan Jary (1991), Watson (2000) dan Reed (ed. 1997) menyebutkan bahwa multikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik. Dengan demikian, multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayan.

Mengingat pentingnya pemahaman mengenai multikulturalisme dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara terutama bagi negara-negara yang mempunyai aneka ragam budaya masyarakat seperti Indonesia, maka pendidikan multikulturalisme ini perlu dikembangkan. Melalui pendidikan multikulturalisme ini diharapkan akan dicapai suatu kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam undang-undang dasar.

B. Mengembangkan Multikulturalisme malalui Pendidikan
Multikulturalisme sebagaimana dijelaskan di atas mempunyai peran yang besar dalam pembangunan bangsa. Indoneia sebagai suatu negara yang berdiri di atas keanekaragaman kebudayaan meniscayakan pentingnya multikulturalisme dalam pembangunan bangsa. Dengan multikulturalisme ini maka prinsip “bhineka tunggal ika” seperti yang tercantum dalam dasar negara akan menjadi terwujud. Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia akan menjadi inspirasi dan potensi bagi pembangunan bangsa sehingga cita-cita untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dapat tercapai.

Mengingat pentingnya pemahaman multikulturalisme dalam pembangunan bangsa, maka diperlukan upaya-upaya konkrit untuk mewujudkannya. Kita perlu menyebarluaskan pemahaman dan mendidik masyarakat akan pentingnya multikulturalisme bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain kita memerlukan pendidikan multikulturalisme yang dapat mengantarkan bangsa Indonesia mencapai keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Mantan Menteri Pendidikan Nasional, Malik Fajar (2004) pernah mengatakan pentingnya pendidikan multikulturalisme di Indonesia. Menurutnya, pendidikan multikulturalisme perlu ditumbuhkembangkan, karena potensi yang dimiliki Indonesia secara kultural, tradisi, dan lingkungan geografi serta demografis sangat luar biasa. Menurut Rahman (2002), Dosen dari Universitas Negeri Padang, seperti dikutip dalam Surat Kabar Kampus “Ganto”, menyebutkan bahwa berdasarkan hasil diskusi pada Pelajaran kebangsaan (PK) ke-5, merekomendasikan akan pentingnya pendidikan multikulturalisme di sekolah-sekolah. Pendidikan multikultur dapat diterapkan seiring dengan kurikulum sekarang yaitu kurikulum berbasis kompetensi (KBK), seperti pengenalan akan budaya-budaya setiap daerah yang ada di Indonesia di sekolah-sekolah. Singkatnya, revitalisasi dan optimalisasi KBK dengan menerapkan pendidikan multikulturalisme di dalamnya,” tambah pria yang juga pernah mewakili UNP pada LKTM tingkat nasional tahun lalu.

Pentingnya pendidikan multikulturalisme sebagaimana dijelaskan di atas, tentu bukan hanya merupakan tanggung jawab sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan formal saja, akan tetapi tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, keluarga, dan institusi-institusi lainnya. Dalam kerangka ini, menurut hemat penulis, perpustakaan merupakan salah satu institusi penting dalam penyelenggaraan pendidikan multikulturalisme. Hal ini didasarkan atas berbagai fungsi yang dimiliki oleh perpustakaan, baik fungsi pendidikan, sosial, informasi, maupun pelestarian kebudayaan.

Berdasarkan dengan kegiatan pendidikan multikulturalisme di perpustakaan ini akan dibahas pada bab selanjutnya.

III. PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME DI PERPUSTAKAAN

Salah satu fungsi utama suatu perpustakaan adalah fungsi edukasi atau fungsi pendidikan. Perpustakaan merupakan salah satu bentuk pusat atau lembaga pendidikan. Perpustakaan sebagai pusat pendidikan akan tergambar dari pemanfaatan perpustakaan sebagai salah satu alternatif bagi masyarakat dalam proses pembelajaran. Perpustakaan merupakan lembaga pendidikan non formal di mana seseorang, baik individu maupun kelompok dapat menggunakan perpustakaan sebagai sarana peningkatan pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan dalam kehidupan. Dengan demikian, sebagai suatu pusat atau lembaga pendidikan maka perpustakaan diharapkan dapat berperan dalam upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Sistem Pendidikan nasional Tahun 2003.

A. Gerbang Multikultural

Perpustakaan seperti ditulis oleh Greenhalgh dan Worpole (1995) merupakan suatu gerbang bagi kebudayaan secara luas (a entry point to the wider culture) dan sebagai gerbang kebudayaan maka perpustakaan haruslah merupakan tempat yang ‘bebas noda’ atau netral dari keberpihakan (libraries is non-stigmatizing places). Perpustakaan hendaknya menjadi tempat penyimpanan beragam manusia dimana seseorang dapat mengenal dan memahami beragam kebudayaan yang dimiliki oleh manusia.

Pernyataan Greenhalgh dan Worpole tersebut sejalan dengan fungsi perpustakaan itu sendiri. Suatu perpustakaan apapun jenisnya berfungsi sebagai sarana pelestari berbagai khazanah kebudayaan manusia. Hasil-hasil karya manusia dalam berbagai jenis yang merupakan hasil budi daya manusia akan disimpan dan dilestarikan sebagai suatu khazanah (Sulistyo-Basuki, 1993). Sebagai tempat penyimpanan dan pelestari khazanah kebudayaan manusia, perpustakaan mempunyai tugas utama dalam hal penyediaan berbagai jenis subjek dan bentuknya, baik tercetak, non cetak maupun elektronik. Dengan pemahaman ini maka suatu perpustakaan akan mengumpulkan berbagai jenis hasil karya intelektual manusia sebagai suatu kebudayaan yang direkam dalam media rekam informasi. Berbagai buku, jurnal, pamlet, makalah, laporan penelitian, kaset, kaset video, disket, disk,. sampai alat penyimpan informasi elektronis lainnya merupakan sumber-sumber informasi atau koleksi perpustakaan. Sumber-sumber informasi ini berisi beragam jenis subjek yang merefleksikan aspek-aspek kebudayaan manusia.

Pendidikan multikulturalisme sebagaimana dijelaskan di atas memerlukan pengenalan terhadap beragam kebudayaan yang dimiliki oleh umat manusia dari beragam suku bangsa, ras atau etnis, dan agama. Keragaman koleksi yang mencakup berbagai subjek dan aspek-aspeknya merefleksikan keterbukaan perpustakaan terhadap isu-isu pluralisme dan multikulturalisme. Semakin akomodatif kebijakan suatu perpustakaan terhadap berbagai sumber-sumber informasi dari beragam kebudayaan maka berarti perpustakaan tersebut telah menunjukkan kepeduliannya terhadap pendidikan multikulturalisme. Demikian pula sebaliknya, jika koleksi perpustakaan hanya terdiri dari satu jenis subjek atau mempunyai subjek yang terbatas, berarti perpustakaan tersebut kurang menyebarluaskan pendidikan multikulturalisme. Dalam kerangka pendidikan multikulturalisme ini pada dasarnya koleksi perpustakaan yang multikultural merupakan bagian dari materi pendidikan yang disediakan bagi para pemakai perpustakaan. Melalui pemanfaatan koleksi perpustakaan yang multikultural tersebut diharapkan pemakai perpustakaan mengenal dan memahami beragam kebudayaan yang dimiliki oleh umat manusia yang pada gilirannya akan tumbuh saling pengertian dan menghargai perbedaan kebudayaan di antara sesama.

Dalam hal ini satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa perpustakaan tidak boleh dijadikan sarana propaganda bagi satu kebudayaan atau faham tertentu sebab hal ini akan bertentangan dengan konsep multikulturalisme. Dalam kerangka ini maka perpustakaan harus menjadi lembaga yang inklusif, dan bukan eklusif terhadap beragam kebudayaan umat manusia.


B. Dialog Kebudayaan

Pendidikan multikulturalisme meniscayakan adanya dialog kebudayaan sehingga di antara keragaman kebudayaan yang ada tidak akan terjadi benturan, apalagi menjadi sumber konflik. Tibi (1996) menyatakan bahwa dialog kebudayaan merupakan cara terbaik dalam membuat saling pengertian guna menegakkan perdamaian di dunia. Kemudian, bagaimana dialog kebudayaan tersebut terjadi di perpustakaan?

Menurut Gates (1994), sejarah perpustakan di dunia sejak awal hingga kini telah meniscayakan bahwa perpustakaan berkaitan erat dengan cara penyimpanan atau pelestarian (preserving) dan pengalihan (transmiting) informasi dan pengetahuan dalam berbagai bahan dan bentuk fisiknya yang digunakan untuk berbagai tujuan. Juga, berkaitan dengan cara penyimpanan dan pengelolaan agar dapat secara mudah diakses atau digunakan oleh para penggunanya. Dengan pemahaman ini, berarti bahwa perpustakaan sebagai suatu institusi tidak hanya mempunyai tanggung jawab dalam hal penyediaan sumber-sumber informasi saja, akan tetapi juga bertanggung jawab terhadap penyebarluasan sumber-sumber informasi tersebut kepada masyarakat tetap. Dalam hal ini, diharapkan suatu perpustakaan dapat menyediakan berbagai layanan dan kegiatan yang dapat membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat terhadap kekayaan informasi; tidak hanya terbatas yang dimiliki oleh perpustakaan, akan tetapi juga yang terdapat di luar perpustakaan. Peran sebagai penyediaan akses ini pada dasarnya merupakan refleksi dari tanggung jawab perpustakaan dalam hal penyebarluasan informasi, dan sebagai bentuk kepedulian terhadap kehidupan masyarakat. Tanggung jawab perpustakaaan dalam hal penyebaran informasi tentu tidak terbatas pada pemberian layanan yang bersifat rutinitas dan cenderung bersifat pasif atau menunggu pemakai mendatangi perpustakaan, akan tetapi hendaknya dipahami sebagai suatu tanggung jawab sosial suatu perpustakaan.

Dalam konteks pendidikan multikulturalisme maka berbagai layanan dan kegiatan yang diselenggarakan oleh perpustakaan sebagaimana dinyatakan oleh Greenhalgh dan Worpole (1995) akan menyediakan suatu dialog atau titik hubungan antara individu dengan masyarakat dengan berbagai karakteristik budaya. Hubungan atau dialog ini terjadi melalui suatu media seperti buku, majalah, film, dan sumber-sumber informasi lainnya yang tersedia di perpustakaan. Melalui penyediaan dan pemanfaatan sumber-sumber informasi yang tersedia di perpustakaan, para pemakai perpustakaan yang mempunyai latar belakang kebudayaan berbeda dapat mengenali sekaligus memahami berbagai kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat lainnya.

Di samping itu, selain melalui pemanfaatan sumber-sumber informasi, dialog kebudayaan ini dapat terjadi secara langsung di antara pemakai perpustakaan, antara satu pemakai dengan pemakai lainnya, dan antara pemakai dengan pustakawan yang memiliki kebudayaan yang berbeda. Semakin intens atau sering pemakai memanfatkan layanan perpustakaan maka semakin sering suatu dialog terjadi. Keanekaragaman atau variasi layanan dan kegiatan yang disediakan atau diselenggarakan oleh perpustakaan akan berpengaruh terhadap tingkat kualitas dari suatu dialog kebudayaan.

Dengan semakin sering terjadi dialog, baik antara pemakai dengan sumber-sumber informasi yang tersedia di perpustakaan, antara pemakai dengan pemakai lainnya, maupun antara pemakai dengan pustakawan, diharapkan dapat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang dalam memakai dan mempersepsikan perbedaan dan keragaman kebudayaan. Berbagai bentuk dialog tersebut diharapkan dapat menanamkan sifat toleran, tidak memaksakan kehendak dan “kebenaran” pribadinya kepada pihak lain.

C. Apresiasi Budaya

Selain sebagai gerbang keanekaragaman kebudayaan dan sebagai tempat terjadinya dialog antarabudaya, perpustakaan juga merupakan tempat apresiasi kebudayaan. Keragaman koleksi perpustakaan yang multikultural yang tersusun dengan baik dan sistematis merupakan bentuk peragaan dan pameran kebudayaan. Display koleksi umum maupun koleksi terbaru perpustakaan yang terpanjang di ruang publik yang menawarkan refleksi keanekaragaman kebudayaan baik masa lalu maupun masa kini merupakan bentuk apresiasi budaya.

Disamping itu, berbagai kegiatan lain seperti pameran buku, bedah buku, lokakarya, penayangan film dokumenter dan kebudayaan, dan berbagai kegiatan lainnya dapat diselenggarakan oleh perpustakaan dalam rangka mengenalkan keragaman kebudayaan umat manusia. Berbagai event nasional maupun internasional, baik yang bersifat sosial, budaya dan keagamaan dapat menjadi moment terpenting dalam mengenalkan keanekaragaman kebudayaan manusia. Misalnya, pada event Maulid Nabi dapat dipamerkan buku-buku berkenaan dengan ketokohan dan kepribadian Nabi Muhammad SAW, demikian pula pada event-event keagamaan lainnya. Pada peringatan Sumpah Pemuda (28 Oktober), juga dapat digunakan sebagai sarana mengenalkan beragam kebudayaan daerah di Indonesia.

Berbagai kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan dapat mengenalkan keragaman kebudayaan sekaligus untuk meningkatkan apresiasi terhadap keanekaragaman kebudayaan yang ada sebagai bagian dari kegiatan pendidikan multikulturalisme.



IV. KESIMPULAN DAN PENUTUP

Dengan melihat uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya perpustakaan merupakan suatu lembaga yang secara potensi dapat menumbuhkembangkan semangat pluralisme dan multikulturalisme. Koleksi perpustakaan merupakan gerbang multikultural yang secara jelas menggambarkan beragam kebudayaan umat manusia. Melalui koleksi perpustakaan para pemakai perpustakaan mulai mengenal keragaman kebudayaan manusia untuk mencapai pemahaman dan pemaknaan terhadap perbedaan. Selanjutnya, melalui gerbang ini, para pemakai kemudian masuk dan berdialog dengan beraneka ragam kebudayaan, baik melalui pemanfaatanan koleksi maupun melalui serangkaian Layanan dan kegiatan perpustakaan sehingga diharapkan akan tumbuh semangat dan sikap untuk menghargai keragaman dan perbedaan kebudayaan yang ada.


DAFTAR PUSTAKA

Alqadrie, Syarif Ibrahim. 2005. Sosialisasi Pluralisme dan Multikulturalisme Melalui Pendidikan. http://www.damandiri.or.id/file/ernibab2.pdf. Diakses tanggal 24 September 2006
Fajar, Malik. 2004. Mendiknas: Kembangkan Pendidikan Multikulturalisme. http://www.gatra.com/2004-08-11/artikel.php?id=43305. Diakses tanggal 24 September 2006
Gates, Jean Key. 1994. Guide to the Use of Libraries and Information Source. New York: McGraw-Hill.
Geger. Mengkomposisikan Integrasi sebagai Fondasi Multikulturalisme. http://www.penulislepas.com/more.phd?id=D775 0 1 0 M. Diakses tanggal 24 September 2006.
Greenhalgh, Liz & Ken Worpole. 1995, Libraries In A World Of Cultural Change. London: UCL. Press.
Harian Suara Pembaharuan. 9 September 2004. Tanggung Jawab Besar Pendidikan Multikultural. http://www.sampoernafoundation.org/content/view/212/48/lang,id/. Diakses tanggal, 24 September 2006
Huntington, Damuel. P. 2000. Benturan antarperadaban dan masa depan politik dunia. Yogyakarta: Qalam.
Rahman. 2005. Pentingnya Pendidikan Multikultur Atasi Konflik Etnis. http://www.ganto-online.com/index.php?option=com content&tast=view&id=55&Itemid=73. Diakses tanggal 24 September 2006.
Sulistyo-Basuki. 1993. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suparlan, Parsudi. 2002. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. http://www.scripp.ohiou.edu/news/cmdd/artikel-ps.htm. Diakses tanggal 24 September 2006.
Tibi, Bassman. 1996. “Moralitas Internasional Sebagai suatu Landasan Lintas-Budaya”. Dalam Agama dan Dialog Antar Peradaban. Jakarta: Paramadina.
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Cemerlang.

Read More..

Bhinneka Tunggal Ika Masih Mungkinkah?

Parsudi Suparlan
Bhinneka Tunggal Ika Masih Mungkinkah?
Masalah negara kita masih belum terpecahkan saja, apalagi pada saat minggu-minggu sekarang dimana banyak sekali masalah selain yang sangat kritis dan aktual, sangat jangka pendek, serta penyelesainnyapun jangka pendek dan cenderung politis. Dibalik semua itu kita yakin bahwa Indonesia mempunyai berbagai masalah yang fundamental dan dijanjikan penyelesaian-penyelesaian yang berdasarkan pada pandangan yang komprehensif. Kalau kita bicara mengenai Otonomi Daerah misalnya, yang merupakan konsensus dan suatu keharusan secara ekonomi, politis, publik opini.

Tetapi banyak kekhawatiran akan hal ini, apakah nantinya akan membawa hal-hal yang berat seperti masalah disintegrasi bangsa. Karena memang krisis yang kita alami sekarang sudah masuk ke berbagai kehidupan, yang belum tentu akan terbantu dengan desentralisasi yang dalam keadaan terpaksa. Sangat sedikit diskusi publik yang memberikan perhatian jernih mengenai dasar-dasar budaya dan masyarakat yang sebetulnya merupakan fundamen hakiki dari Indonesia sebagai suatu negara plural, negara yang Bhineka Tunggal Ika. Sehingga menjadi pertanyaan bagi kita, bagaimana masa depan Bhineka Tunggal Ika itu kalau dilihat secara budaya? Dalam waktu dekat ini akan ada suatu simposium di Makasar dalam bidang Antropologi pada tanggal 1 sampai 4 Agustus 2000. Tentu sebagaimana layaknya suatu simposium, simposium Antropolgi inipun akan banyak membahas masalah. Tema umumnya adalah ôMenyongsong Otonomi Daerah Mengenali Budaya Lokal dan Membangun Integrasi Bangsaö, yang diadakan oleh jurusan Antropologi FISIP-UI dan Jurnal Antropologi Indonesia. Anda bisa mengakses ini melalui berbagai cara, antara lain melalui kami yaitu perspektif@ibm.net, nanti akan kami sediakan keterangannya. Sekarang maksud kita bukan untuk membicarakan simposium itu secara khusus, tetapi materinya yang bagi kita menjadi satu pertanyaan, Bhineka Tunggal Ika, bagaimana konsep itu sekarang? Bagaimana pluralisme itu di Indonesia? Kita akan berbicara dengan orang yang sangat berwenang membahas ini yaitu Bapak Parsudi Suparlan, Profesor Antropologi dari Universitas Indonesia, yang baru saja kembali dari Amerika dan menghabiskan banyak waktu pendidikan dan penelitiannya baik di Indonesia, Amerika ataupun negara lain. Inilah Perspektif Baru dengan Parsudi Suparlan bersama pemandu anda Wimar Witoelar.

Apa yang kita bisa expect dari konsep Bhineka Tunggal Ika itu sekarang?

Bhineka Tunggal Ika dipertanyakan apa itu masih mungkin? Menurut saya itu masih mungkin. Yang harus kita pikirkan adalah bukan berarti Bhineka itu artinya didalam satu itu banyak keaneka ragaman, hanya itu saja. Tetapi justru hakikat hubungan antara yang berbagai-bagai dengan yang satu itu yang harus kita pikirkan bersama.

Ada satu konsep dalam ilmu pengetahuan sosial, antropologi, sosiologi, ilmu politik, yang namanya masyarakat majemuk. Konsep ini datangnya dari Indonesia dan itu dikemukakan oleh ahli Inggris bernama Furnival, penulis dua buah buku yang pertama adalah The Plural Economic of Netherland Hindie dan Colonial Policy a Comparation Between Burma and Netherland Hindie. Di situ jelas sekali ditunjukan bahwa yang namanya Indonesia sebagai sebuah masyarakat majemuk terdiri atas sekolompok-sekolompok sosial atau masyarakat yang satu sama lain sebetulnya tidak saling berhubungan, tidak saling terikat, dan bahkan dia mengatakan tidak ada keinginan bersama.

Mereka ini atau masyarakat ini dipersatukan menjadi satu oleh satu kekuatan paksa pada zaman itu adalah pemerintah kolonial Hindia Belanda. Lalu masyarakat-masyarakat ini saling berhubungan karena masing-masing punya kepentingan ekonomi yaitu di pasar. Jadi justru mereka ketemunya di pasar dan untuk kepentingan ekonomi. Lebih lanjut Furnival mengatakan bahwa masyarakat majemuk seperti Indonesia ini, para penguasanya hanya memikirkan kepentingan ekonomi untuk mereka sendiri. Yang paling pokok, penguasaan dengan force, dan yang kedua hanya memikirkan uang untuk kepentingan diri sendiri.

Jadi ada semacam penguatan ilmiah terhadap pengertian awam bahwa rezim yang totaliter dari dalam negeri seperti rezim Soeharto, ada miripnya dengan rezim yang totaliter dari luar negeri seperti kolonial?

Betul, seperti di Rusia yang masyarakatnya majemuk, Yugoslavia, Afrika Selatan juga demikian. Dengan kata lain kepentingan penguasa lebih menonjol dari kepentingan lain, dan kalaupun warga masyarakat saling berhubungna satu sama lain bukan untuk kesadaran kebersamaan, tetapi untuk kepentingan ekonomi masing-masing. Ini yang kita rasakan pada pemerintahan Presiden Soeharto yang lalu.

Dengan kata lain keBhineka Tunggal Ikaan itu seolah-olah ada satu yang menguasai beranekaragam yang berada dibawahnya dan mereka itu harus tunduk. Jadi tidak ada hukum yang objektif yang berbicara mengenai kebenaran atau keadilan atau untuk kesejahteraan, tapi sebenarnya kebenaran, keadilan dan kesejahteraan untuk yang menguasai hukum itu.

Bagaimana jenis pluralisme yang terwujud dalam Amerika Serikat misalnya yang sering sekali meromantisasi konsep keragaman itu?

Kalau kita perhatikan sejarah Amerika, sebetulnya ide yang pertama ada bukanya pluralisme tapi mono culturalisme, atau ide mengenai satu kebudayaan. Yang utama adalah yang dinamakan White Anglo Saxon Protestant atau WASP. Jadi orang kulit putih yang berasal dari Anglo Saxon dan beragama Kristen protestan. Sebab pada dasarnya agama-agama lain termasuk Katolik adalah agama minoritas di Amerika. Disingkirkan.

Orang-orang kulit putih lainpun pada mulanya adalah minoritas. Jadi orang kulit putih yang Anglo Saxon sebetulnya yang utamanya. Sehingga monoculturalisme ini berkembang terus sampai menjelang perang dunia ke 2, dan mulai ditantang, mulai retaknya konsep monoculturalisme yang WASP tadi itu setelah Presien Kennedy terpilih.

Jadi konsep prularisme itu sesuatu yamg modern dan baru bukan yang datang dari kebudayaan zaman dulu?

Betul, konsep multi kulturalisme sebetulnya adalah sesuatu yang baru, karena dulunya Amerika itu adalah WASP. Sedangkan golongan lain, suku bangsa dan ras lain yang datang belakangan ke Amerika, mau tidak mau harus menjadi WASP. Kalau yang warna kulitnya beda seperti bangsa kita itu susah menjadi WASP. Ini akhirnya tersingkir, dan menghasilkan kelompok-kelompok minoritas seperti Pecinan, Getto, Yahudi, dan sebagainya. Itu yang tidak bisa teradaptasi didalam WASP tadi.

Apa itu berarti kita harus khawatir kalau dikaitkan dengan konflik etnis, konflik horisontal lainnya bahwa dasarnya itu jauh lebih dalam dari pada pluralisme yang sekarang dipromosikan sebagai barang baru?

Kita tidak usah khawatir. Justru yang harus kita khawatirkan adalah perimbangan hubungan kekuatan antara penguasa dengan yang dikuasai, pusat dengan daerah. Kalau kita memang konsekuen, kita mengatakan kita menuju masyarakat sipil yang demokrasi, maka landasan dasar demokrasinya harus dipegang yaitu satu adalah kesakralan negara atau pemerintah, kedua kesakralan masyarakat dan yang ketiga individual.

Kita sekarang baru bicara HAM individual, tapi hak masyarakatnya belum disakralkan. Karena itu kalau kita perhatikan masyarakat sekarang yang diobrak-abrik, dirusak. Nah, kalau kita konsisten dengan ideologi kita, kita menuju masyarakat sipil yang demokrasi, maka itu kita pegang. Dengan demikian maka hak budaya komuniti itu juga harus diperhatikan dan didukung oleh hukum dan kekuatan hukum yang ada. Jadi keseimbangan antara ketiganya itu akan tercapai, dan ini yang terjadi di Amerika.

Jadi seperti lari dari satu eksrim ke ekstrim yang lain ya. Dulu kekuatan negara terpusat, sekarang kekuatan individu dipromosikan, sedangkan masyarakat tengahnya sama-sama menderita, itu yang terjadi sekarang?

Ya masyarakatnya justru menderita karena masyarakat sendiri tidak dihargai, tidak disakralkan. Yang disakralkan semuanya HAM. Polisi takut bertindak padahal kepentingan masyarakat kan dihancurkan oleh para perusuh. Lalu HAM yang dimenangkan kan eksrim ini. Ini yang harus mulai kita pikirkan sekarang. Kita ambil contoh di Amerika, hak untuk hidup orang kulit hitam sebagaimana cara hidup atau kebudayaan orang kulit hitam dihargai.

Yang lainnya juga demikian. Dan hak-hak ini kemudian sampai pada tingkat politik yang lebih atas, bukan lagi HAM dalam pengertian individual tapi dalam arti kebudayaan dan masyarakatnya dihargai. Jadi hak hidup kebudayaan itu dihargai. Ada dijamin dalam undang-undang. Ini yang dinamakan sebagai multi culturalism.

Makanya di Amerika orang bilang ôkebebasan pribadi berhenti dimana kebebasan umum itu mulai. Kelihatannya itu intuitif dari kecil, tingkat pendidikan rendah sudah dimasukan nilai-nilai itu, mengapa? Apa ada suatu esensi yang lebih demokratis pada masyarakat di Amerika dari pada yang di Timur?

Sebetulnya pendidikan mengenai multi culturalism di negara bagian California itu telah dilakukan sejak tahun 70-an, lalu di negara-negara bagian lain tahun 80-an, 90-an dan sebagainya. Saya terakhir di negara bagian Indiana, di sana sekarang sudah mulai dimasukan pengajaran mengenai multiculturism, dan sudah berjalan kira-kira lima tahunan. Adanya pengajaran ini antara lain membuat orang Amerika menjadi tidak rasis, bahwa orang lain yang berbeda juga berhak untuk hidup seperti kita. Nah, kalau berhak untuk hidup seperti kita, lalu tatanannya seperti apa? Tatanannya adalah hukum yang kita taati bersama, kita hormati bersama.

Apakah kita boleh berharap bahwa kita akan mengatasi soal-soal yang sangat serius dalam pluralisme, dalam integrasi bangsa, dengan satu kesadaran yang tinggi, atau kita memang dalam proses cerai berai ? Soalnya kalau kita ikuti contoh Bapak yang di Amerika, itu memerlukan suatu kegiatan dengan political will, strategi hukum dan segala macam. Di Indonesia dari mana kita akan menemukan kekuatan semacam itu kira-kira?

Kalau kita ingat HAM, itu dulu juga tidak ada, kan sama. Nah kita bisa melakukan bahwa masyarakat-masyarakat kecil, komuniti-komuniti kecil juga punya hak untuk hidup. Hidup menurut kebudayaannya yang bersangkutan. Jadi jangan mentang-mentang kita kuat seperti orang Jawa, atau orang Padang di Mentawai kan kuat, atau orang Melayu di Riau kan kuat, lalu masyarakat-masyarakat terasing dihabisi. Mereka dianggap sebagai yang tidak berharga dan harus diislamkan atau di Kristenkan, serta bukan dengan suka rela.

Seperti ini sebaiknya mulai diindahkan, dan itu didalam undang-undang PBB ada hak-hak sepert itu yang harus dilindungi oleh negara yang bersangkutan. Indonesia menandatanganinya. Satu hal berkaitan dengan ini adalah kalau kita perhatikan, antara lain kalau kita lihat di Indonesia, di Rusia dan Yugoslavia, begitu kekuasaan yang otoriter tidak ada lagi, maka masing-masing mau berkuasa, masing-masing bentrok dan sebagainya, timbul kerusuhan, masing-masing mau mendapatkan kue yang besar Tapi kalau kita lihat apa yang terjadi di Afrika Selatan itu berbeda.

Sebenarnya itu juga masyarakat majemuk, tapi Mandela mempunyai suatu kemampuan untuk memaafkan penindasan yang dilakukan oleh orang-orang kulit putih, dan Kennedy juga mempunyai kemampuan sosial untuk melakukan ini. Membangun golongan minoritas dan mendamaikan golongan dominan untuk dapat hidup bersama. Itu dituangkan dalam undang-undang. Tapi di Rusia dan Yogoslavia tidak ada tokoh seperti itu. Nah ini saya kira yang harus kita pikirkan, mungkin barangkali kita dapat melakukannya dengan antara lain memberikan konsesi hak budaya komuniti didalam undang-undang otonomi daerah.

Jadi ini jelas suatu upaya bangsa, upaya nasional, dimana kita harus sangat solider dan dengan kekuatan besar, bagaimana tempatnya otonomi daerah didalam usaha untuk mempersatukan bangsa ini, apa dia tidak menimbulkan fragmentasi dalam prosesnya?

Otonomi daerah kalau salah-salah bisa menghasilkan fragmentasi, disorganisasi dan kemudian menjadi disintegrasi. Apa yang harus diperhatikan bahwa di daerah-daerah masyarakat yang utama adalah masyarakat suku bangsa, yang biasanya mayoritas pemeluk sesuatu agama walaupun ada minoritasnya yang agama lain.

Di dalam prinsip kesukubangsaan masing-masing suku bangsa di Indonesia, ada satu unsur terpenting yang saya namakan originalitas. Apakah originalitas ini seharusnya tidak dimasukan didalam peraturan atau dalam semacam etika dasar dari terbentuknya otonomi, bahwa sesuatu warga masyarakat otonomi daerah sebetulnya adalah mereka yang dilahirkan di tempat itu. Karena pada dasarnya kita ini tidak ada yang asli. Sebetulnya kita semuanyan hanya migran, hanya saja siapa yang lebih dulu, siapa yang lebih berkuasa. Misalnya dikepulauan Riau Bangka, orang Cina datang terlebih dahulu dari pada orang Melayu. Karena mereka bekas perompak atau kapal terdampar itu ada disitu.

Begitu juga orang Cina di Kalimantan Barat, tapi mereka masih saja digolongkan sebagai pendatang padahal ngomong Chinanya sebagian besar sudah tidak bisa. Ini saya kira satu unsur utama yang menjadi landasan dasar etika terbentuknya otonomi daerah untuk menghindarkan adanya diskriminasi dan sebagainya. Jadi yang namanya warga sesuatu wilayah adalah mereka dilahirkan disitu, tidak peduli asalnya dari mana. Ini baru kita bisa menuju pada masyarakat Indonesia yang kita harapkan, yang berkebudayaan majemuk, bukan yang masyarakat majemuk tapi mempunyai kebudayaan yang beraneka ragam, yang Bhineka Tunggal Ika.

Seperti Bapak katakan HAM tidak ada sekarang ada, kesadaran mengenai pluralisme mulai ada. Ini muncul karena reformasi, karena rezim itu tumbang, atau sudah ada kesadaran pada kantong-kantong masyarakat Indonesia?

Kesadaran itu ada, mengenai keberadaan ada dalam pengetahuan mereka. Hanya kemudian kalau itu ada kaitannya dengan kepentingan masing-masing pribadi, maka kesukubangsaan dimanipulasi. Mengatakan itu bukan asli. Berbagai kerusuhan yang sekarang terjadi juga demikian, ôitu bukan orang sini, itu orang luar.

Padahal dia lahir dan besar di situ. Ambil contoh dalam kasus kerusuhan di Kalimantan Barat antar Madura dan Melayu. Ada orang Madura yang kalau dipulangkan ke Madura, dia harus tinggal di mana? Karena dia lahir dan besar disitu, dan sudah tiga generasi. Ini yang harus kita pikirkan bersama.

Read More..

Membangun Kembali ‘Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika’: Menuju Masyarakat Multikultural

Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia ke-3
Membangun Kembali ‘Indonesia
yang Bhinneka Tunggal Ika’:
Menuju Masyarakat Multikultural
16–19 Juli 2002
Universitas Udayana, Denpasar, Bali

Sebagai rangkaian akhir dari trilogi penyelenggaraan simposium internasional Jurnal
ANTROPOLOGI INDONESIA sejak tahun 2000, tema simposium tahun 2002 ini secara tepat
mencerminkan tantangan dan masalah besar yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia pada
masa kini; sekaligus juga bagi para ilmuwan antropologi/sosial di Indonesia dan manca negara.
Tema simposium tidak hanya menggugah ilmuwan dan praktisi untuk secara sungguh-sungguh
mencermati, menyimak kembali, dan menata kehidupan berbangsa dan bernegara pada tataran
praktis, tetapi juga mengkaji paradigma multikulturalisme pada tataran teoretis dan konseptual.


untuk lengkapnya Silahkan download di sini

Read More..

TEKNIK-TEKNIK MEMAHAMI PERKEMBANGAN ANAK

TEKNIK-TEKNIK MEMAHAMI PERKEMBANGAN ANAK
oleh :OJIM SURYANA
BAB I
PENDAHULUAN

D. Latar Belakang
Sebagai calon guru atau pendidik kita harus mempunyai pengetahuan, kreatifitas juga wawasan yang luas untuk memahami peserta didiknya. Selain itu kita harus mengerti psikokologi anak, kemampuan anak, kelemahan anak dan keinginan anak yang mempunyai bakat tertentu.
Untuk itu kita harus mengetahui tingkat kemampuan dan perkembangan peserta didik. Salah satunya dengan tes. Tes yang digunakan bisa bermacam-macam sesuai dengan kemampuan dan minat peserta didik.
Selain itu, tes bisa membantu kita untuk dapat mengetahui kemampuan juga kelemahan peserta didik yang menjadi masalah dalam kehidupannya. Untuk itu kita akan membahas sedikit mengenai teknik-teknik memahami anak atau peserta didik.

E. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Pengertian dan macam-macam teknik-teknik tes!
2. Pengertian non-tes dan jenis-jenisnya!
3. Bagaimana cara mengetahui kemampuan, bakat, permasalahan yang dihadapi siswa !

F. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui dan memahami pengertian dan macam-macam teknik-teknik tes.
2. Mengetahui dan dapat menguraikan pengertian dan jenis-jenis non-tes.
3. Dapat mengetahui juga mengungkap kemampuan, bakat juga membantu siswa dalam menhadapi permasalahannya.

BAB II
TEKNIK-TEKNIK MEMAHAMI PERKEMBANGAN ANAK

A. Teknik Tes
Teknik tes atau sistem testing merupakan usaha pemahaman murid dengan menggunakan alat-alat yang bersifat mengungkap atau mentes.
Sedangkan tes adalah sebagai suatu prosedur yang sistematis untuk mengobservasi (mengamati) tingkah laku individu melalui skala angka atau sistem kategori.
Selain itu tes mengandung pengertian alat untuk menentukan atau menguji sesuatu.
Penggunaan teknik dari tes bertujuan untuk:
2. Menilai kemampuan belajar murid
3. Memberikan bimbingan belajar kepada murid
4. Mengecek kemampuan belajar
5. Memahami kesulitan-kesulitan belajar
6. Menilai efektivitas (keberhasilan) mengajar (Shertzer & Stone; 1971:235)
Berdasarkan atas aspek yang diukur, tes dibedakan atas:
a. Tes intelegensi
b. Tes bakat
c. Tes kepribadian
d. Tes prestasi belajar
Untuk itu kita akan membahas satu persatu
a. Tes intelegensi
Yaitu suatu teknik atau alat yang digunakan untuk mengungkapkan tarap kemampuan dasar seseorang yaitu kemampuan dalam berpikir, bertindak dan menyesuaikan dirinya secara efektif.
Macam-macam tes intelegensi
1). Tes intelegensi umum, bertujuan untuk memberikan gambaran umum tentang taraf kemampuan seseorang.
2). Tes intelegensi khusus, menggambarkan taraf kemampuan seseorang secara spesifik.
3). Tes intelegensi differensial, memberikan gambaran tentang kemampuan seseorang dalam berbagai bidang yang memungkinkan didapatnya profil kemempuan tersebut.
Manfaat tes intelegensi
a). menganalisis berbagai masalah yang dialami murid
b). membantu memahami sebab terjadinya masalah
c). membantu memahami murid yang mempunyai kemampuan yang tinggi juga yang rendah
d). menafsirkan kesulitan-kesulitan belajar yang dihadapi siswa
b. Tes bakat
Yaitu suatu teknik atau alat yang digunakan untuk mengetahui kecakapan, kemampuan atau keterampilan seseorang dalam bidang tertentu.
Tes bakat berguna untuk membantu seseorang dalam membuat rencana dan keputusan yang bijaksana berkenaan dengan pendidikan dan pekerjaan.
Untuk mengetahui bakat seseorang, telah dikembangkan berbagai macam tes seperti:
1). Rekonik, tes ini mengukur fungsi motorik, persepsi dan berpikir mekanis.
2). Tes bakat musik, tes yang mengukur kemampuan dalam aspek-aspek nada, suara, ritme, warna bunyi dan memori.
3). Tes bakat artistik, yaitu kemampuan menggambar, melikis dan meripa.
4). Tes bakat krelikal (perkantoran), yaitu tes mengukur kecepatan dan ketelitian.
5). Tes bakat multifaktor, tes yang mengukur berbagai kemampuan khusus.
Tes ini mengukur beberapa kemampuan khusus diantaranya yaitu:
- Berpikir verbal, yang memngungkapkan kemampuan nalar secara verbal.
- Kemampuan bilangan, kemampuan berpikir yang menggunakan angka-angka.
- Berpikir abstrak, kemampuan berpikir dengan nalar yang bersifat nonverbal tanpa angka-angka.
- Berpikir mekanik, kemempuan serta pemahaman mengenai huku-hukum yang mendasari alat-alat, mesin-mesin, dan gerakan-gerakan.
c. Tes kepribadian
Yaitu suatu tes untuk mengetahui kepribadian seseorang yang terorganisasi secara dinamis dan sistem-sistem psikologis dalam sisi individu yang menentukan penyesuaian-penyesuain yang unik dengan lingkungan.
Kepribadian dapat diukur dengan jalan melihat:
- Apa yang seseorang katakan tentang keadaan dirinya sendiri.
- Apa yang orang lain katakan tentang keadaan diri seseorang.
- Apa yang seseorang lakukan dalam situasi tertentu.
d. Tes prestasi belajar
Yaitu suatu alat (tes) yang disusun untuk mengukur hasil-hasil pengajaran.
Tujuan utama penggunaan tes prestasi belajar adalah agar guru dapat membuat keputusan-keputusan seleksi dan klasifikasi serta menentukan keefektifan pengajaran.
Tes ini meliputi:
1). Tes diagnostik,yang dirancang agar guru dapat mengetahui letak kesulitan murid, terutama dalam berhitung dan membaca.
2). Tes prestasi belajar kelompok yang baku.
3). Tes prestasi belajar yang disusun guru.

B. Non-tes
Teknik non-tes merupakan prosedur mengumpulkan data untuk memahami pribadi siswa pada umumnya bersifat kualitatif.
Beberapa macam teknik non-tes diantaranya yaitu:
8. Observasi (pengamatan)
Yaitu teknik atau cara mengamati suatu keadaan atau suatu kegiatan (tingkah laku). Yang paling berperan disini adalah panca indra atau pengindraan terutama indra penglihatan, dan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- dilakukan sesuai dengan tujuan yang dirumuskan terlebih dahulu
- direncanakan secara sistematis
- hasilnya dicatat dan diolah sesuai tujuan
- perlu diperiksa ketelitiannya.
Teknik observasi ini dapat dikelompokan kedalam beberapa jenis yaitu:
a. Observasi sehari-hari
b. Observasi sistematis
c. Observasi partisipatif, disini pengamat ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan oleh orang yang damati.
d. Observasi nonpartisifatif, disini pengamat tidak ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan oleh orang yang diamati.
9. Catatan anekdot
Yaitu catatan otentik hasil observasi yang menggambarkan tingkah laku murid atau kejadian dalam situasi khusus, bisa menyangkut individu juga kelompok.
Dengan menggunakan catatan anekdot guru dapat:
- memperoleh pemahaman yang lebih tepat tentang perkembangan anak
- memperoleh pemahaman tentang sebab-sebab dari gejala tingkah laku murid
- memudahkan dalam menyesuaikan diri dengan murid.
Catatan anekdot yang baik memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
a. Objektif
Untuk mempertahankan objektivitas dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:
- catatan dibuat sendiri oleh guru
- pencatatan dilakukan segera setelah suatu kegiatan terjadi
- deskripsi dari suatu peristiwa dipisahkan dari tafsiran pencatatan sendiri
b. Deskriptif
Catatan suatu peristiwa mengenai murid hendaknya lengkap disertai latar belakang, percakapan dicatat secara langsung, dan kejadian-kejadian dicatat secara tersusun sesuai dengan kejadiannya.
c. Selektif
Situasi yang dicatat adalah situasi yang relevan dengan tujuan dan masalah yang sedang menjadi perhatian guru sesuai keadaan murid.
10. Wawancara
Wawancara merupakam teknik untuk mengumpulkan informasi melalui komunikasi langsung dengan responden atau orang ynag diminta informasi.
Kelebihan dan kekurangan wawancara
Kelebihannya yaitu:
- merupakan teknik yang paling tepat untuk mengungkap keadaan pribadi murid
- dapat dilakukan terhadap setiap tingkatan umur
- dapat dilaksanakan serempak dengan kegiatan observasi
- digunakan untuk pelengkap data yang dikumpulkan dengan teknik lain
Kekuranganya yaitu:
- tidak efisien, yaitu tidak dapat menghemat waktu
- sangat bergantung terhadap kesediaan kedua belah pihak
- menuntut penguasaan bahasa dari pihak pewawancara
11. Angket
Angket (kuesioner) merupakan alat pengumpul data melalui komunikasi tidak langsuang, yaitu melalui tulisan. Angket ini berisi daftar pertanyaan yang bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan responden.
Beberapa petunjuk untuk menyusun angket:
- gunakan kata-kata yang tidak mempunyai arti lengkap
- susun kalimat sederhana tapi jelas
- hindari kata-kata yang sulit dipahami
- pertanyaan jangan bersifat memaksa untuk dijawab
- hindarkan kata-kata yang negatif dan menyinggung perasaan responden.
12. Autobiografi
Yaitu sebuah karangan pribadi seseorang (siswa) yang murni hasil dirinya sendiri tanpa dimasuki pikiran dari orang lain, ini lebih menjurus tentang pengalaman hidup, cita-cita dan lain sebgainya.
Autobiografi bagi guru bertujuan untuk mengetahui keadaan murid yang berhubungan dengan minat, cita-cita, sikap terhadap keluarga, guru atau sekolah dan pengalaman hidupnya.
Autobiografi ini dalam pembuatannya dibagi kedalam dua jenis, yaitu karangan terstruktur dan tidak terstruktur.
a. Terstruktur
Karangan pribadi ini disusun berdasarkan tema (judul) yang telah ditentukan sebelumnya, seperti: cita-citaku, keluargaku, teman-temanku, masa kecilku dan sebagainya.
b. Tidak terstruktur
Di sini murid diminta membuat karangan pribadi secara bebas, dan tidak ditentukan kerangka karangan terlebih dahulu.
13. Sosiometri
Teknik ini bertujuan untuk memperoleh informasi dengan menghubungkan atau interasksi sosial diantara murid. Dengan sosiometri guru dapat mengetahui tentang:
- murid yang populer (banyak disenangi teman).
- murid yang terisolir (tidak dipilih/disukai teman).
- klik (kelompok kecil, 2-3 orang murid).
Sosiometri juga dapat digunakan untuk:
- memperbaiki hubungan insani diantara anggota-anggota kelompok tertentu
- menentukan kelompok kerja
- meneliti kemampuan memimpin seorang individu dalam kelompok tertentu untuk suatu kegiatan tertentu.
14. Studi kasus
Dalam melaksanakan studi kasus ini dapat ditempuh langkah-langkah :
a. Menemukan murid yang bermasalah, contih: prestasi belajarnya sangat rendah, nakal, sering bertengkar dan sering bolos.
b. Memperoleh data
Cara untuk memperoleh data:
1). Wawancara dengan guru lain
2). Home visit, yaitu kunjungan kerumah orang tua murid
3). Wawancara langsung dengan siswa yang bersangkutan
c. Menganalisis data
Berbagai faktor yang mungkin terjadi penyebab anak mengalami kelainan:
- kondisi keluarga yang tidak harmonis
- tingkat kecerdasan rendah
- motivasi belajar rendah
- sering sakit-sakitan
- kurang mengetahui konsep-konsep dasar atau pengetahuan tentang mata pelajaran tertentu
d. Memberikan layanan bantuan
Apabila berdasarkan analisis ternyata faktor penyebabnya itu kurang menguasai konsep-konsep dasar dalam mata pelajaran tertentu, maka caranya yaitu dengan mengajar kembali tentang konsep-konsep dasar mata pelajaran tertentu.

BAB III
PENUTUP

C. Kesimpulan
Teknik tes merupakan salah satu metode atau cara yng digunakan untuk mengukur atau mengetahui tingkat kemampuan dan kelemahan seseorang.
Teknik tes terbagi beberapa macam diantaranya:
a. Tes intelegensi
b. Tes bakat
c. Tes kepribadian
d. Tes hasil belajar
Selain itu untuk memahami perkembangan anak sebagai peserta didik digunakan Non-tes yang merupakan proses pengumpulan data untuk memahami pribadi pada umumnya bersifat kualitatif.
Macam-macam non-tes diantaranya:
a. Observasi
b. Wawancara
c. Catatan anekdot
d. Autobiografi
e. Sosiometri
f. Studi khusus
Teknik-teknik tersebut bertujuan untuk membantu memberi informasi kepada guru untuk mengetahui anak yang berbakat, kemampuan tinggi, kemampuan rendah, anak bermasalah dan sebagainya.
Untuk itu kita bisa mencoba melakukan teknik tes ataupun non-tes untuk mengetahui suatu informasi yang diperlikan.

D. Saran
Adapun beberapa saran yang dapat kami sampaikan yaitu :
1. Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan keinginannya.
2. Lakukanlah beberapa teknik tes atau non-tes yang bisa memecahkan masalah yang dihadapi siswa.
3. Lakukanlah secara kontinue/berkesinambungan untuk mengetahui keadaan siswa.
4. berikanlah bimbingan juga pengarahan tambahan atau lebih kepada siswa bila diperlukan.

DAFTAR FUSTAKA

Amti, Erman & Marjohan. 1992. Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Tim Dosen MK Bidang Kependidikan. 2006. Bimbingan di Sekolah Dasar. Bandung : Tim Dosen Bimbingan Konseling UPI

Read More..

RUANG LINGKUP DAN PENDEKATAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN

RUANG LINGKUP DAN PENDEKATAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN
oleh Ojim suryana

BAB II
RUANG LINGKUP DAN PENDEKATAN
PENDIDIKAN LINGKUNGAN

A. Pengertian Pendidikan Lingkungan dan Kependudukan
Pendidikan dalam arti luas adalah segala pengalaman belajar diberbagai lingkungan yang berlangsung sepanjang hayat dan berpengaruh positif bagi perkembangan individu.
Pendidikan dalam arti sempit dalam prakteknya identik dengan penyekolahan (schooling), yaitu pengajaran formal dibawah kondisi-kondisi yang terkontrol, jadi pendidikan hanya berlangsung bagi mereka yang menjadi siswa pada suatu sekolah atau mahasiswa pada suatu perguruan tinggi.
Menururut UU SPN No. 20 Tahun 2003 “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masayarakat, bangsa dan negara”.
Lingkungan adalah kesatuan ruang dengan segala makhluk hidup, makhlik tak hidup, dan daya serta manusia dengan segala perilakunya, yang saling berhubungan secara timbal balik, jika ada perubahan salah satu komponen akan mempengaruhi komponen lainnya.
Yang dimaksud dengan Kependudukan adalah sejumlah orang yang tinggal disuatu wilayah atau daerah dengan segala kebudayaan, tata kehidupan dan adanya peraturan pemerintahan yang mengaturnya.
Untuk mengendalikan lingkungan agar tetap terjaga sebagai mana mestinya maka diperlukan pendidikan kepada setiap individu selanjutnya setiap penduduk agar bisa menjaga ekosistem dan kesetabilan lingkungannya.

B. Pendekatan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH)
PLH adalah program pendidikan untuk membina anak didik agar memiliki pengertian, kesadaran, sikap, dan perilaku yang rasional serta bertanggung jawab terhadap alam dan terlaksananya pembangunan yang berkelanjutan.(Mustofa).
Tujuan PLH adalah agar siswa memiliki pengetahuan, sikap dan perilaku rasional dan bertanggung jawab terhadap masalah kependudukan dan lingkungan hidup. PLH bukan mata pelajaran yang berdiri sendiri melainkan mata pelajaran yang di integrasikan keberbagai mata pelajaran dalam kurikulum terutama kurikulum SD yang berlaku.
Pendidikan Lingkungan Hidup pada jalur pendidikan formal dapat ditempuh melalui dua pendekatan yaitu pendekatan monolitik dan integrative.
1. Pendekatan Monolitik
Pendekatan monolitik adalah pendekatan yang didasarkan pada suatu pemikiran bahwa setiap mata pelajaran merupakan komponen yang berdiri sendiri dalam kurikulum dan mempunyai tujuan tertentu dalam kesatuan yang utuh. System pendekatan ini dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu:
1) Membangun satu disiplin ilmu baru yang diberi nama PLH. Nantinya dijadikan mata pelajaran yang terpisah dari ilmu-ilmu lain.
2) Membangun paket PLH yang merupakan mata pelajaran yang berdiri sendiri.
Kelebihan pendekatan monolitik
1) Mata pelajaran yang berdiri sendiri.
2) Persiapan mengajar lebih mudah dan bahan-bahannya dapat diketahui dari silabus.
3) Pengetahuan yang diperoleh siswa akan lebih sintesis.
4) Waktu yang disediakan dapat secara khusus, pencapaian tujuan bisa lebih aktif.
5) Evaluasi belajar bisa lebih jelas dan mudah.
Kelemahan Pendekatan Monolitik
1) Perlu dibuat silabus sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri sejajar dengan mata pelajaran lain.
2) Perlu menambah tenaga pengajar yang mempunyai spesialisasi dalam Pendidikan Lingkungan Hidup.
3) Kemungkinan menambah beban belajar siswa dari mata pelajaran yang ada sekarang dalam kurikulum.
2. Pendekatan Terpadu (Integratif)
Pendekatan terpadu adalah pendekatan yang didasarkan pemaduan mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup dengan mata pelajaran lain. Pendekatan ini dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu:
a. Membangun suatu unit atau seri pokok bahasan yang disiapkan untuk dipadukan kedalam mata pelajaran tertentu.
b. Membangun suatu program inti yang bertitik tolak dari suatu mata pelajaran tertentu.
Kelebihan Pendekatan Terpadu
1) Tidak perlu menambah tenaga kerja pengajar khusus dibidang PLH.
2) Makin banyak guru mata pelajaran lain yang terlibat sehingga siswa memperoleh bahan yang lebih banyak.
Kelemahan pendekatan terpadu
1) Perlu adanya penataran guru untuk pelajaran PLH yang dipadukan.
2) Perlu mengubah silabus dan jam pelajaran yang telah ada.
3) Timbul kesulitan proses untuk memadukan PLH dengan pelajaran lain.
4) Kemungkinan tenggelamnya program PLH ke dalam mata pelajaran lain dan sebaliknya.
5) Keterbatasan waktu yang tersedia dapat menghambat tercapainya tujuan dengan baik.
6) Evaluasi perlu cara khusus karena adanya dua tujuan dalam satu kegiatan pembelajaran.
Pertimbangan pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan pelaksanaan PLH dalam program sekolah melalui pendekatan terpadu. Agar ini berhasil maka perlu memperhatikan factor-faktor sebagai berikut:
a. Perpaduan harus dilakukan secara tepat agar pengetahuan mata pelajaran yang dijadikan perpaduan tidak mengalami perubahan susunan.
b. Susunan pengetahuan yang jadi perpaduan berdasarkan kurikulum yang ada pada system persekolahan yang sedang berlaku.
c. Mata pelajaran induk yang dipilih sebagai wadah perpaduan memiliki daya serap yang cukup.
Adapun mata pelajaran yang utama sebagai wadah perpaduan adalah Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, IPA, IPS, PENJAS dan Pendidikan Kewarga Negaraan.

C. Ruang Lingkup Keadaan Sekitar Lingkungan Kependudukan
Dalam lingkungan tidak lepas dari dua komponen biotik dan abiotik. Biotik didalamnya terdapat mahluk hidup termasuk manusia, abiotik yaitu benda mati batu, tanah, matahari, anggin, air dan sebagainya. Tetapi yang paling besar peranannya adalah manusia.
Manusia pada dasarnya sebagai mahluk individu yang hidupnya pengen sendiri serakah, tetapi manusia juga tidak lepas dari orang lain dan lingkungan sekitar karena itu manusia disebut juga mahkluk sosial. Manusia tidak bisa hidup sendiri ia membutuhkan interaksi dengan sesamanya dilingkungan hidup ini. Karena secara naluriah manusia selalu ingin berkumpul dengan orang lain sebab memiliki akal yang sempurna.
Segala hal yang melibatkan dua orang atau lebih, melibatkan orang lain berarti sosial.
a. Individu dan Masyarakat
Manusia adalah salah satu makhluk yang ada di dunia, tetapi manusia lebih sempurna dengan makhlik lainnya yang ada di dunia. Karena adanya akal dan perbuatannya pun diatur oleh akal hanya sebagian kecil diatur oleh naluri. Dengan akalnya itu manusia mempunyai pengetahuan dan terus mengembangkan sehingga tercipta sesuatu hal yang baru dan lebih bermanfaat. Namun potensial itu hanya mungkin menjadi kenyataan apabila individu yang berpotensial bersangkutan saling berinteraksi dan hidup dalam suatu masyarakat saling timbal balik dan saling melengkapi.
b. Kelompok Sosial
Kecenderungan manusia untuk berkumpul/berkelompok timbul dari kesadaran manusia akan keinginan hidup saling memerlukan. Pergaulan antar sesama manusia adalah kebutuhan dan dari pengalamannya itu manusia harus memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan itu semua tidak bisa dilakukan sendiri yakni harus ada timbale balik dari sesamanya dilingkungan sosial tersebut, maka itu terjadilah interaksi sosial.
c. Hubungan Makhluk dengan Lingkungan
Lingkungan terdiri komponen biotik dan abiotik. Biotik terdiri dari manusia, hewan dan tumbuhan. Abiotik terdiri dari benda-benda tak bernyawa yang ada disekitar kita.
Antara makhluk yang satu dengan yang lainnya saling ketergantungan dan saling melengkapi, seperti manusia membutuhkan hewan dan tumbuhan untuk keperluan pangan, butuh air untuk minum dan lainnya. Hewan dan tumbuhan membutuhkan air untuk bertahan hidup, butuh matahari dan sebagainya.
d. Penduduk dan Sumber Daya Alam (SDA)
Manusia hidup bersama unsur lingkungan yang lainnya yakni SDA. SDA adalah segala sesuatu yang ada di alam berupa biotik atau abiotik yang dapat dimanfaatkan manusia untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Jumlah penduduk makin meningkat berarti kebutuhannya juga meningkat. Dengan berbagai cara manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan tetapi hasil dari pengetahuan dan IPTEK ada yang menguntungkan ada juga yang tidak. Sebab SDA menurut jenisnya ada dua yaitu biotik dan abiotik, menurut sifatnya SDA yang dapat diperbaharui dan SDA yang tidak dapat diperbaharui, oleh sebab itu kita harus waspada atas kelestarian SDA.
Agar SDA tetap lestari keberadaannya dibutuhkan pemeliharaan lingkungan dan tidak mudah tentunya, maka harus ada kesadaran seluruh warga dalam melestarikan lingkungan dan disini diperlukan pendidikan agar tiap individu bisa melakukannya.

D. Permasalahan Lingkungan dan Kependudukan
Masalah lingkungan hidup adalah suatu persoalan yang dihadapi semua bangsa di dunia baik bangsa yang maju dan berkembang. Menurut Emil Salim (1986), sudah sejak lama masyarakat Indonesia hidup akrab dengan lingkungan alam juga memiliki semangat kekeluargaan yang besar dalam lingkungan sosial, dengan kata lain masyarakat Indonesia telah menerapkan pola hidup yang serasi dengan lingkungan hidup.
Jumlah penduduk mempengaruhi keseimbangan lingkungan, penyediaan sumber kekayaan lingkungan juga jadi tujuan sebagai bahan pemenuhan kebutuhan hidup. Penggunaan teknologi dan ilmu pengetahuan yang tidak tepat dapat mengganggu keseimbangan lingkungan, peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan IPTEK akan diikuti oleh pemakaian lahan.
Tahun 1972 diadakan konferensi PBB di Stockholm, dan membahas tentang lingkungan hidup. Oleh karena tanggal 5 juni 1972 merupakan hari pembukaan konferensi maka tanggal 5 juni disepakati sebagai hari lingkungan hidup sedunia.
Lingkungan Hidup dan Sistem Lingkungan
1. Lingkungan hidup
Ilmu yang mendasari tentang lingkungan adalah Ekologi. Ilmu lingkungan mempelajari makhluk hidup berdasarkan unit populasinya. Akibat naiknya kepadatan populasi akan timbul persaingan dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Akan timbul akibat persaingan tersebuit yaitu jika:
1) Efek ekologi bila berlangsung pada waktu singkat.
2) Efek evolusi bila berlangsung pada waktu relatife lama.
Ada 2 faktor lingkungan yang dapat menurunkan daya baik populasi yaitu:
1) Bergantung kepadatan populasi itu sendiri, seperti ruang untuk hidup.
2) Factor yang tidak bergantung pada kepadatan populasi, seperti suatu lingkungan tertentu.
Menurut Soemarwoto (1985) ada beberapa factor yang menentukan lingkungan hidup yaitu:
1) Jenis dan jumlah masing-masing jenis unsur lingkungan hidup.
2) Hubungan atau interaksi antara unsur dalam lingkungan.
3) Kelakuan atau kondisi unsur lingkungan hidup.
4) Non-material, suhu, cahaya, kebisingan.
2. Teknologi dan lingkungan
Ilmu dan teknologi memberi peluang kepada manusia untuk merubah lingkungan. Perubahan yang terjadi bisa secara cepat atau lambat. Manusia menggunakan teknologi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi perlu diingat bahwa pada hakikatnya teknologi selain dapat membawa kesejahteraan dapat pula membawa bencana.
Pemakaian ilmu dan teknologi dalam meningkatkan kualitas hidup manusia memberikan efek samping tersendiri. Adanya pabrik dan berbagai industri akan menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan. WHO telah menetapkan ada 4 tingkat pencemaran, yaitu:
1) Pencemaran yang tidak menimbulkan kerugian kepada manusia jika dilihat dari zat pencemaran dan waktu kontaknya dengan lingkungan.
2) Pencemaran yang mulai mengakibatkan iritasi ringan pada panca indra.
3) Pencemaran yang sudah mengakibatkan reaksi pada paal tubuh dan menyebabkan sakit kronis.
4) Pencemaran yang sudah besar sehingga menimbulkan gangguan dan menyebabkan sakit parah bahkan kematian.
Manfaat teknologi
Teknologi sangat bermanfaat bagi manusia diantaranya adalah:
- Teknologi informasi dan komunikasi misalnya; dapat menyaksikan dan mendengarkan peristiwa yang terjadi di negara lain yang jaraknya sangat jauh, adanya TV, komputer, radio, telepon genggam, satelit dan sejenisnya.
- Teknologi transfortasi misalnya; adanya kendaraan bermotor mobil, kereta, kapal laut, pesawat terbang dapat mempermudah berpindah dari satu tempat ketempat lain yang jauh dalam waktu yang singkat.
- Bidang kedokteran misalnya; telah menggunakan sinar radio aktif untuk diagnosis dan pengobatan, pada pengobatan kangker misalnya.
- Bidang pertanian misalnya; petani dapat mengusahakan tanamannya sepanjang tahun karena tidak lagi mengandalkan sipat-sipat alam seperti curah hujan, unsur hara, sinar matahari dan sebagainya. Pengairan dengan mesin pompa, irigasi, pupuk buatan, insektisida, herbisida dan lainnya.
- Bidang keamanan misalnya; pesawat zet tempur, senjata api, bom dan lainnya sering dipakain dalam perang.
Akibat buruk teknologi
Teknologi juga ada dampak buruknya yakni; adanya pencemaran udara akibat kendaraan bermotor dan pabrik, pencemaran lingkungan, limbah pabrik yang tidak termanfaatkan. Penggunaan gas-gas beracun dan sebagainya ini menyebabkan lapisan ozon menipis akibatnya suhu meningkat, panas, banyak penyakit terutama kangker kulit.
Akibat intensifikasi pertanian banyak burung yang musnah, penggunaan insektisida, herbisida, pupuk buatan dan zat sejenisnya dapat mengakibatkan kesuburan tanah hilang dalam waktu relati lama dan akhirnya ketergantungan zat-zat kimia tersebut dan membahayakan kita. Insektisida DDT, adalah hidrat orang yang diklorinasi dan tidak larut di air, bila terkonsumsi akan terjadi penurunan populasi hewan khususnya.
Gampangnya mendapat informasi, memudahkan orang yang menyalah gunakan teknologi misalnya; Telepon untuk maksiat, TV, memudahkan orang berbuat jahat dan sebagainya itu semua penyalah gunaan teknologi yang harus kita waspadai.

E. Fungsi Pendidikan Lingkungan Hidup terhadap Kependudukan
Proses belajar mengajar sebaiknya dilakukan dengan pendekatan lingkungan alam sekitar (PLAS). Dasar filosofis mengajar dengan mengimpelementasikan pendekatan lingkungan alam sekitar adalah dari Rousseau dan Pestalozzi.
Jean Jacques Rousseau (1712-1788), mengatakan bahwa kesehatan dan aktifitas fisik adalah faktor utama dalam pendidikan anak-anak. Rousseau percaya bahwa “anak harus belajar langsung dari pengalaman sendiri, dari pada harus mendengarkan dari penjelasan buku”. Disini lingkungan sangat berperan penting dalam proses pembelajaran.
Johann Heinrich Pestalozzi (1716-1827), seorang pendidik berkebangsaan Swiss, dengan konsef “Home School”nya, menjadikan lingkungan alam sekitar sebagai objek nyata untuk memberikan pengalaman pertama bagi anak-anak. Pestalozzi juga mengajarkan ilmu bumi dan alam sekitar kepada anak didiknya dengan fasilitas yang ada dilingkungan sekitarnya dan menanamkan rasa tanggung jawab pada diri anak akan dirinya sendiri juga lingkungan agar tetap seimbang.
Tanpa adanya campur tangan manusia, lingkungan hidup belum tentu dapat terawat. Makanya dari pada itu, kependudukan mesti berperan aktif dalam upaya menyalamatkan lingkungan.

Di antaranya adalah:
1. Peran sebagai pengelola, bukan penghancur lingkungan.
Saat ini, banyak sekali penduduk yang perannya tidak sesuai dengan kenyataan. Yang mestinya menjadi pengelola, malah yang menjadi pengrusaknya. Pohon ditebang, lahan dieksporitasi dan udara dibuat mengandung penyakit.
2. Peran sebagai penjaga, bukan perusak lingkungan.
Kalau dalam diri penduduk sudah sadar akan pentingnya lingkungan hidup untuk kehidupannya. Maka, mereka akan menjadi penjaga, bukan menjadi perusak demi kepentingan pribadinya.
Sebab itulah pendidikan lingkungan di butuhkan dan harus diberikan kepada anak sejak dini agar mereka mengerti dan kelak tidak merusak lingkungan.
Pendidikan lingkungan sangat berpengaruh tehadap kependudukan, diantaranya:
1. Aspek Kognitif
Pendidikan lingkungan mempunyai fungsi terhadap kognitif yakni untuk meningkatkan pemahaman terhadap permasalahan lingkungan kependudukan, selain itu meningkatkan daya ingat, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi terhadap kondisi yang terjadi dalam lingkungan sekitarnya.
2. Aspek Afektif
Sementara itu, Pendidikan lingkungan berfungsi juga dalam aspek afektif, yakni dapat meningkatkan penerimaan, penilaian, pengorganisasian dan karakteristik kepribadian dalam menata kehidupan dalam keselarasan dengan alam. Sehingga, adanya penataan teradap kependudukan dilingkungan hidupnya.
3. Aspek Psikomotor
Dalam aspek psikomotor, fungsi Pendidikan Lingkungan cukup berperan dalam peniruan, manipulasi, ketetapan, artikulasi, dan pengalamiahan dalam tentang lingkungan yang ada disekitar kita, dalam upaya ningkatkan hajanah kebudayaan misalnya.
4. Asepek Minat
Dalam aspek terakhir ini juga, fungsi dari pendidikan lingkungan terhadap kependudukan, yang dalam hal ini adalah penduduknya meningkat dalam minat yang tumbuh dalam dirinya. Minat tersebut, digunakan untuk meningkatkan usaha dalam menumbuhkan kesuksesan kependudukan yang ada.
Sjarkowi (2005), mengatakan bahwa membangun kadar pemahaman yang seimbang tentang peran aktif manusia pembangunan di tengah lingkungan hidupnya, maka di seluruh penjuru nusantara perlu diselenggarakan program penghijauan kurikula (Greening The Curicules) seperti digagas Collet, J & S dan Karakhaslan (1996). Dengan pola dan bobot pendidikan yang berwawasan lingkungan itu maka kadar kesepahaman antar sesama manusia pembangunan dan bobot kerjasama pro-aktif dan reaktif mereka terhadap bencana dan kerugian lingkungan pun akan dapat ditumbuhkan dengan cepat secara internal daerah atau bahkan kebangsaan maupun internasional.
Bencana lingkungan hidup seperti kebakaran, banjir, longsor dan lainya dapat merusak sumber daya alam. Sekali dimensi kelestarian sumber daya itu mengalami kerusakan tentunya akan sulit dipulihkan. Maka dapat dimengerti betapa pentingnya merealisasikan program pendidikan lingkungan, agar lingkungan terjaga keseimbangannya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada dasarnya kehidupan ini selaras seimbang antara segala sesuatu yang ada didalamnya, yaitu makhluk hidup ada manusia, hewan dan tumbuhan, dan semua benda mati yang dapat dimanfaatkan dan mempunyai peran dalam kehidupan ini. Yang membuat lingkungan rusak dan tidak tertata lagi selain sang pencipta adalah masalah siapa yang menduduki dan menjadi pemimpin di atasn kehidupan lingkungan ini tiada lain yakni manusia.
Kalau lingkungan mau setabil berarti manusia harus bisa menata kembali tatanannya dengan cara mendidik individu-individu manusianya agar dapat mengelola lingkungannya.
Lingkungan dan Kependudukan bisa selaras apabila satu sama lain bisa seimbang. Dalam penerapan yang ada, pelaku utamanya adalah manusia selaku penduduk, yang di fokuskan kepada pengelolaan lingkungan melalui pedekatan pendidikan lingkungan muali dari tingkat SD hingga perguruan tinggi dan kepada masyarakat.
Lingkungan akan menajdi bumerang bila, kita tidak bisa mengelolanya dengan baik. Apalagi kalau sudah terjadi bencana alam maka lingkungan akan mengancam keselamatan kita.

B. Saran
Dalam kesempatan kali ini penyusun berharap dan memberikan saran agar kita selaku makhluk yang mendiami lingkungan harus bisa menjaga keseimbangan dan keselarasan lingkungan sendiri gausah disuruh dan diperintah. Mulailah dari sekarang, dari hal yang terkecil, mulai dari diri kita masing-masing.
Dan tuntutlah ilmu juga pendidikan lebih luas dan bijaksana agar tatanan kehidupan selaras seimbang antara satu hal dengan hal lain yang ada didalamnya, dengan begitu maka akan tercipta kehidupan yang aman, nyaman dan tentram terkendali
DAFTAR FUSTAKA

Syaripudin, Tatang. 2006. Landasan Pendidikan. Bandung : Sub Kordinator MKDP Landasan Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI
Pratomo, Suko. 2008. Pendidikan lingkungan (EnvironmentEducation). Bndung : Sonagar Press
Syamsudin, Helius dkk. 1992. Pendidikan IPS 1. Jakarta : DEPDIKNAS DIKTI PROYEK PEMBINAAN TENAGA KEPENDIDIKAN 1992/1993
R.E. Kaligis, Jenny. 1991. Pendidikan IPA. Jakarta : DEPDIKNAS DIKTI PROYEK PEMBINAAN KEPENDIDIKAN 1991/1992
Modified by ychi@2005::designed by pixelthemes.com
Dirdjosoemarto, Soendjojo dkk. 1991. Pendidikan IPA 2. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Darmodjo, Hendro. 1992. Pendidikan IPA 1. Jakarta : DEPDIKNAS DIKTI PROYEK PEMBINAAN TENAGA KEPENDIDIKAN 1992/1993
Barlia, Lily. 2006. Mengajar dengan Pendekatan Lingkungan Alam Sekitar. DEPDIKNAS DIKTI DIREKTORAT KETENAGAAN 2006

Read More..
Template by : kendhin x-template.blogspot.com